
Oleh : Muliadi Saleh, Direktur Eksekutif SPASIAL, Trainer Motovvator
SAAT kumandang takbir yang mengawali mentari pertama Syawal menggema, cahaya kebahagiaan merekah di wajah-wajah yang telah ditempa oleh bulan suci Ramadhan. Idulfitri bukan sekadar perayaan, melainkan perjalanan kembali menuju hakikat diri yang sejati. Dalam alunan takbir, tersimpan makna mendalam tentang kemenangan rohani, tentang jiwa yang kini telah terbasuh oleh ketulusan ibadah dan kekhusyukan doa.
Idulfitri berasal dari bahasa Arab. "Id" berarti kembali dan "Fitri" bermakna suci atau berbuka. Idulfitri menghadirkan penyucian diri, sebuah kelahiran kembali dalam keikhlasan dan kedamaian. Ramadhan telah menjadi madrasah ruhani, tempat manusia menahan diri dari godaan duniawi, mendidik hati untuk bersabar, dan mengajarkan tangan untuk lebih banyak memberi daripada menerima. Kini, Idulfitri menjadi momen penyempurnaan, di mana kebahagiaan tidak sekadar terasa di lidah yang kembali mengecap manisnya hidangan, tetapi juga dalam batin yang menemukan ketenangan.
Idulfitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Rasulullah ﷺ bersabda : "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemenangan ini bukanlah kemenangan atas orang lain, tetapi kemenangan atas diri sendiri—melawan hawa nafsu, menaklukkan keangkuhan, dan menundukkan ego yang kerap mendominasi.
Idulfitri adalah momentum pembebasan diri dari belenggu hawa nafsu. Ia mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Ramadhan mengajarkan kita untuk berjuang melawan godaan duniawi, dan Idulfitri adalah perayaan atas kemenangan spiritual tersebut.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: