
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — DPR dan pemerintah telah sepakat mendorong revisi Undang-Undang (UU) TNI. Hal itu menuai kecaman dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).
Revisi UU TNI itu, dianggap akan membuat Indonesia menuju masa militeristik. Hal yang dinilai bertentangan dengan semangat reformasi.
“Itu (revisi UU TNI) mendorong militerisitik,” kata Aktivis HAM, yang juga bagian dari YLBHI-LBH Makassar, Iyan Hidayat kepada fajar.co.id, Kamis (13/3/2025).
Pada dasarnya, Iyan menjelaskan militerisme sebenarnya tidak ada masalah sebagai sebuah ide. Tapi lain halnya jika dibawa ke dalam sistem pemerintahan.
“Militerisme nda soal sebagai sebuah ide. Itu yang jadi masalah kalau dibawa ke sistem pemerintahan,” ujarnya.
Pemerintahan militeristik, kata dia tak paham Hak Asasi Manusia (HAM). Cenderung bersifat instruktuksional.
“Mana paham militer soal HAM dan sipil. Kebiasaan instruksinya, dalam militer mereka tidak kenal diskusi. Tapi instruksi, ini yang jadi persoalaan dalam urusan sipil,” jelasnya.
Jika itu terjadi, maka demokrasi bisa terancam. Karena rakyat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
“Jadi nanti ambil kebijakan sekonyong-konyongnya mereka. Tanpa melibatkan rakyat,” terangnya.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Usulan revisi ini mencakup dua poin utama dan telah disepakati DPR.
Pertama, aturan yang mewajibkan prajurit TNI yang ditempatkan di kementerian atau lembaga lain untuk pensiun dini.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: