Jejak Muhammadiyah di Limbung, dari Tradisi Anja-anja hingga Kebangkitan Dakwah Buya Hamka

2 weeks ago 18
Buya Hamka dan foto saat muda bersama istrinya. (INT)

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Di Sulawesi Selatan, khususnya di Limbung, Kabupaten Gowa, Islam telah menjadi agama mayoritas sejak lama.

Sayangnya, meski 100 persen warganya memeluk Islam, tidak sedikit masyarakat yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang, seperti menyembah anja-anja (sesembahan), mendatangi tempat keramat, hingga percaya pada benda-benda pusaka dan jimat.

Kebiasaan turun-temurun itu bahkan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Keprihatinan terhadap kondisi tersebut membuat para muballig Muhammadiyah dari Jawa dan Sumatera menjejakkan kaki ke Sulawesi Selatan. Gerakan Muhammadiyah yang sejak awal berkomitmen memurnikan ajaran Islam dari praktik syirik, bid’ah, dan khurafat, melihat daerah-daerah seperti Limbung membutuhkan sentuhan dakwah.

Momentum penting datang pada tahun 1935 ketika Buya Hamka, tokoh besar Muhammadiyah, berkunjung ke Makassar. Kehadirannya menyedot ribuan jemaah, termasuk warga dari Limbung. Dalam ceramahnya, Buya Hamka menyoroti keras kebiasaan masyarakat yang masih memelihara sesembahan dan menduakan Allah. Ia juga menyerukan jihad melawan penjajah Belanda yang kala itu sedang terdesak akibat Perang Dunia II.

Seruan itu menyalakan semangat para pemuda Limbung. Nama-nama seperti Usman, Basowa Dg Majja, Murtadi Dg Puli, hingga Muh. Saleh Dg Gau, tampil ke depan. Mereka kemudian sepakat mendirikan organisasi Muhammadiyah di Limbung. Untuk memimpin, dipilihlah Rowa Dg Malewa—tokoh masyarakat berpengaruh sekaligus Gallarrang Bontomaero.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Rakyat news| | | |