Banjir Bandang dan Bencana Hoaks: Tantangan Literasi Informasi dalam Situasi Krisis

3 days ago 12
Muh. Ikbal (Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM)

Oleh: Muh. Ikbal (Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM)

FAJAR.CO.ID -- Bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa waktu terakhir menegaskan kembali bahwa persoalan kebencanaan di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan infrastruktur, mitigasi, atau respons darurat. Ada satu dimensi lain yang tak kalah krusial, yakni dimensi informasi. Di tengah kepungan air bah, masyarakat justru harus berhadapan dengan arus lain yang tidak kalah berbahaya—berita bohong atau hoaks.

Salah satu contohnya ketika lima orang di Pidie Jaya, Aceh malah menyebarkan hoaks soal naiknya air laut ke daratan dan akan menyapu pemukiman. Informasi hoaks biasanya disebarkan melalui pesan berantai hingga rekaman suara, sehingga tampak seolah-olah berasal dari pihak berwenang. Padahal, narasi tersebut tidak memiliki dasar ilmiah apa pun. Namun, efeknya langsung terasa: masyarakat panik, sebagian mengungsi tanpa arah, dan penanganan bencana menjadi kacau. Aparat akhirnya menangkap lima orang yang diduga sebagai penyebar hoaks.

Jika kita menelaah fenomena ini secara akademik, hoaks semacam ini bukan sekadar “kesalahan informasi”, tetapi bagian dari apa yang disebut para ahli sebagai information disorder. Wardle dan Derakhshan menjelaskan bahwa dalam situasi krisis, masyarakat sering menghadapi information vacuum—ruang kosong informasi akibat kurangnya akses terhadap sumber resmi. Kekosongan ini kemudian diisi oleh narasi emosional yang beredar secara horizontal. Ketika banjir melanda dan jaringan komunikasi terganggu, pesan mengenai “air laut yang naik” tampak kredibel bagi sebagian warga, bukan karena isinya benar, tetapi karena konteks ketidakpastian memperkuat penerimaannya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Rakyat news| | | |