Muliadi Saleh, Esais Reflektif dan Direktur Eksekutif SPASIAL
Oleh: Muliadi Saleh, Esais Reflektif dan Direktur Eksekutif SPASIAL
Bangsa ini sedang menulis bab baru dalam sejarah ekonominya. Mengelola dan mengolah anugerahnya sendiri. Hilirisasi adalah salah satu langkah penting dalam babak baru pembangunan nasional — sebuah ikhtiar untuk menghadirkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian bangsa. Ia bukan sekadar proses industri, melainkan pernyataan harga diri: bahwa kita tidak selamanya menjadi penjual bahan mentah dan pembeli hasil olahan orang lain.
Di banyak tempat, hilirisasi telah melahirkan wajah-wajah optimisme baru. Di daerah penghasil nikel dan sawit, terbuka peluang kerja bagi anak muda yang dulu harus merantau. Di desa-desa, mulai tumbuh inisiatif pengolahan lokal dan koperasi kecil yang menumbuhkan ekonomi rakyat. Nilai tambah mulai berputar di dalam negeri, menggerakkan rantai produksi dari hulu ke hilir, dari petani ke pabrik, dari desa ke pasar global.
Inilah bentuk pembangunan yang seharusnya menjadi rahmat — ketika sumber daya dikelola dengan niat baik, teknologi digunakan untuk kesejahteraan, dan keuntungan mengalir bukan hanya ke kas negara, tapi ke perut rakyat. Hilirisasi sejatinya adalah proses spiritual dalam bentuk ekonomi: mengubah kekayaan menjadi keberkahan, bukan keserakahan; menghadirkan manfaat, bukan malapetaka.
Namun di balik cahaya, selalu ada bayangan. Di antara deru mesin dan debu tambang, bangsa ini juga sedang diuji: apakah hilirisasi akan menjadi rahmat atau laknat? Sebab pembangunan yang kehilangan nurani bisa berubah menjadi duka — ketika tanah dirampas, udara tercemar, dan masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari kekayaan yang lahir di pangkuannya sendiri.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

















































