
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Badan Pengelola (BP) Haji resmi jadi kementerian. Itu setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah disahkan DPR.
Langkah ini menuai sorotan dari berbagai pihak. Pengamat Pemerintahan Universitas Hasanuddin Ali Armunanto menilai, pembentukan kementerian baru ini bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan, melainkan langkah pembenahan yang mendesak.
“Ini bukan hanya keputusan politis. Saya melihatnya sebagai langkah strategis untuk membenahi tata kelola haji yang selama ini semrawut dan sarat kepentingan,” kata Ali kepada fajar.co.id, Rabu (28/8/2025).
Ia menilai, penyelenggaraan ibadah haji selama ini menjadi ajang rebutan kepentingan banyak pihak, mulai dari politisi, birokrat, hingga ormas keagamaan. Akibatnya, praktik jual beli kuota, kolusi dengan penyelenggara travel, hingga penyalahgunaan dana abadi haji tak pernah benar-benar tuntas.
“Dana abadi haji jumlahnya ratusan triliun. Itu magnet besar bagi penyimpangan. Apalagi kuota haji juga sering dimainkan. Ini bukan isu baru. Sudah lama terjadi, tapi sulit disentuh karena bercampur dengan kepentingan politik dan keagamaan,” tegasnya.
Menurutnya, dengan dibentuknya Kementerian Haji dan Umrah, kewenangan menjadi lebih terpusat dan jelas. Pengawasan bisa diperkuat, dan birokrasi yang terbentuk bisa lebih profesional serta fokus menangani satu urusan: haji dan umrah.
“Selama ini Kementerian Agama punya terlalu banyak urusan. Haji hanya salah satu dari banyak tugas mereka. Dengan kementerian tersendiri, kebijakan bisa lebih spesifik, pelaksanaan lebih profesional, dan risiko penyimpangan bisa ditekan,” katanya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: