
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Sejarah panjang Kerajaan Gowa tidak bisa dilepaskan dari tiga penguasa bergelar Batara yang meninggalkan jejak kuat dalam perjalanan negeri ini. Gelar Batara bukan sekadar sebutan, melainkan simbol kebesaran yang hingga kini masih melekat dalam ingatan masyarakat Sulawesi Selatan. Dari masa awal Gowa Purba, persatuan kerajaan kembar, hingga perlawanan berdarah melawan kolonial Belanda, kisah para Batara menyajikan drama sejarah yang penuh warna.
Batara pertama dikenal sebagai Batara Guru, pemimpin pada masa Gowa Purba sebelum Tumanurunga, sekitar tahun 1320. Ia menandai fondasi awal kerajaan besar ini. Setelahnya, tahta sempat dipegang oleh saudaranya, Tatali, sebelum Gowa berkembang menjadi kerajaan yang disegani.
Beberapa abad kemudian, sekitar tahun 1460, muncul penguasa bergelar Batara Gowa kedua, yakni Raja Gowa VII, putra dari Raja Gowa VI Tunatangkalopi. Ia memerintah bersama saudaranya, Karaeng Loe ri Sero, yang menjadi Raja Tallo. Persaudaraan ini melahirkan persekutuan yang kelak dikenal dengan nama Kerajaan Kembar Gowa–Tallo.
Persekutuan itu melahirkan semboyan Ruwa Karaeng Se’re Ata, yang berarti dua raja tetapi satu rakyat. Persatuan ini memperkuat pengaruh Gowa di wilayah timur Nusantara. Sang Batara kemudian wafat dan dimakamkan tidak jauh dari kediamannya, sehingga masyarakat mengenalnya dengan gelar Tumenanga ri Paranglakkenna.
Batara ketiga menghadirkan kisah yang jauh lebih rumit dan penuh gejolak. Ia adalah Raja Gowa XXVI bernama Amas Madina, lebih dikenal sebagai Batara Gowa II. Setelah ayahnya, Sultan Abdul Quddus, wafat pada 1753, Amas Madina yang baru berusia enam tahun dinobatkan sebagai raja oleh Dewan Bate Salapanga. Sesuai tradisi, raja yang masih belia diberi nama lain yang mengandung cita-cita besar, sehingga ia menyandang gelar Batara Gowa II, mengambil nama dari Raja Gowa VII.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: