Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Sebuah naskah kuno beraksara Lontara, Lontara’ Attoriolong Mampu, kembali membuka tabir perjalanan panjang kerajaan-kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan. Naskah setebal 326 halaman yang terakhir disalin pada 1851 ini bukan hanya mengisahkan lahir dan runtuhnya Kerajaan Mampu, tetapi juga menegaskan peranannya dalam pembentukan Kerajaan Bone, salah satu kerajaan terbesar di jazirah Sulawesi.
Ditulis dengan pena lidi pohon aren dan tinta hitam di atas kertas segel Belanda bermerek “Van Gelder”, manuskrip ini menggambarkan Mampu sebagai kerajaan yang lahir dari legenda To Manurung. Raja pertamanya adalah La Oddang Patara, yang dinobatkan setelah terlebih dahulu bersepakat dengan rakyat dalam sebuah kontrak politik sederhana—sebuah praktik kepemimpinan yang jauh mendahului konsep demokrasi modern.
La Oddang Patara menikah dengan sepupunya, We Lele Ellung, dan dari pasangan ini lahir keturunan yang kelak menjadi simpul kekerabatan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan: Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, hingga Gowa.
Namun kejayaan Mampu tidak bertahan lama. Naskah ini mencatat sebuah bencana besar yang dikenal masyarakat Bugis sebagai AlebborengngE ri Mampu. Dalam mitos, malapetaka itu dikisahkan sebagai kutukan karena puteri raja mengingkari janjinya. Tetapi teks lontara lebih sederhana: Mampu musnah akibat “alebboreng”, istilah Bugis yang berarti lubang atau tanah ambles. Para peneliti menduga peristiwa itu adalah likuifaksi, bencana geologi yang membuat tanah dan pemukiman tiba-tiba amblas.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

















































