FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kewenangan berlebih yang tertuang dalam UU No 7/2021 tentang Kejaksaan kembali disorot masyarakat sipil. Selain hak imunitas kejaksaan yang kontroversial, mantan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu juga mempersoalkan hak leniensi kejaksaan. Hak leniensi ini adalah untuk menuntut ringan pelaku pidana.
’’Limitasinya tidak jelas, dan menjadi rentan penyelewengan,’’ ucap Edwin dalam acara Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di Hotel Horison Kamis (23/1) siang. ’’Dalam rancangan perubahan UU Kejaksaan ini, batasnya makin kabur,’’ tambahnya.
Dia lalu kemudian mencontohkan kasus Pinangki Sirna Malasari, pegawai Kejaksaan Agung yang sempat viral karena menemui buron kakap kasus perbankan, Djoko Tjandra. ’’Jabatannya cuma Kasubag Pemantauan dan Evaluasi loh. Di bawah Kepala Biro. Pertemuan itu sulit dielakkan ada restu pimpinan, setidaknya atas sepengetahuan. Kita tidak tahu, kan,’’ ucapnya.
Tapi, nyatanya Kejaksaan hanya menuntutnya empat tahun dan denda Rp 500 juta. Edwin menyebut bahwa ini menunjukkan komitmen yang lemah terhadap praktek korup di tubuh kejaksaan itu sendiri.
Selain itu, Edwin juga menyebut sejumlah contoh kasus lainnya. Menunjukkan fenomena no viral no justice. ’’Kita pernah dengar ada kasus Valencia alias Nensyl, yang diproses karena memarahi suaminya yang mabuk. Kejaksaan sempat menuntutnya satu tahun, tapi karena viral, kemudian tuntutannya menjadi bebas,’’ terangnya. Sebuah hal yang aneh, jika menuntut bebas, kenapa harus diproses sampai persidangan. ’’Juga kasus pemelihara landak di Bali. Yang setelah viral baru mendapatkan keadilan,’’ tambahnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: