
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kembali bersuara soal memanasnya hubungan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China.
Ia menyebut eskalasi saling balas tarif impor antara keduanya kini telah mencapai titik kritis dan berpotensi memutus total perdagangan bilateral.
"Perang Tarif antara Amerika dan China semakin tajam. Hanya dalam satu hari, atau hitungan jam, AS-China saling balas kenaikan tarif impor," ujar Anthony kepada fajar.co.id, Jumat (11/4/2025).
Dikatakan Anthony, posisi saat ini, tarif impor produk China ke AS dikenakan tarif 125 persen. Sebaliknya, produk AS ke China dikenakan tarif 84 persen.
"Berlaku seketika. Dengan tarif impor sebesar itu, dan tidak ada tanda-tanda kompromi, praktis hubungan dagang AS-China akan terputus," lanjutnya.
Hitung-hitungan Anthony, dengan melihat perang tarif tersebut, kedua negara bisa disebut tidak bisa berdagang lagi karena terbilang kemahalan.
"Seandainya pun ada pihak yang nekat impor, produk tersebut tidak akan laku. Konsumen akan mencari barang sejenis, barang substitusi, yang lebih murah," sebutnya.
Di lain sisi, kata Anthony, Amerika menunda masa berlaku tarif impor resiprokal bagi semua negara lainnya selama 90 hari.
"Pertanyaannya, apa konsekuensi dari terputusnya hubungan dagang AS-China tersebut bagi ekonomi dunia, bagi negara-negara lainnya, dan khususnya bagi Indonesia," cetusnya.
Lanjut Anthony, nilai transaksi perdagangan AS-China mencapai sekitar 660 miliar dolar AS pada 2024, Amerika impor produk China sekitar 460 miliar dolar AS, sedangkan China impor produk AS sekitar 200 miliar dolar AS.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: