
Oleh: Heru Subagia
(Pengamat Politik dan Ekonomi, Alumni UGM)
Ikrar dan semangat membangun ekonomi kerakyatan, Presiden Republik Indonesia menetapkan langkah monumental: peluncuran 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang akan diresmikan pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025. Gagasan ini mencerminkan implementasi nyata dari amanat UUD 1945 Pasal 33, yang menegaskan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
Inisiatif ini diperkuat dalam retreat kepala daerah di Akmil Magelang (21–28 Februari 2025), di mana Presiden Prabowo menegaskan pentingnya koperasi desa dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Koperasi Merah Putih dirancang sebagai motor penggerak ekonomi desa melalui semangat gotong royong, saling membantu, dan penguatan ekonomi lokal. Diperkirakan sekitar 80 ribu Kopdes akan dibangun di seluruh pelosok desa dan akan merogoh koceh pendanaan sekitar Rp 400 Triliunan.
Namun, Kagama Cirebon menilai penting untuk memandang inisiatif terangkum dalam kebijaksan percepatan pembentukan Kopdes ini harus secara jernih dan kritis. Sebab, setiap langkah besar menyimpan potensi dampak yang tidak hanya positif, namun juga bisa mengguncang ekosistem yang telah terbangun, khususnya di sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Jangan sampai Komdes berubah menjadi predator market atau pasar lama khususnya bagi UMKM yang sudah puluhan tahun eksis.
Risiko Monopoli dan Penetrasi Pasar
Dalam pelaksanaannya nanti, Koperasi Merah Putih kemungkinan besar akan menjadi jalur utama distribusi barang kebutuhan pokok dari beras hingga listrik, gas nelpon dari sembako hingga layanan pembayaran digital. Ini membuka peluang terjadinya monopoli pasar oleh koperasi yang terafiliasi dengan kekuatan modal dan akses kebijakan. Bisnis tersebut betul-betul bisnis produk pokok hingga keseluruhan kebutuhan dssar masyarakat teraliniasi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: