Oleh: Fathul Khair Tabri
(Dosen Politeknik Kaltara)
Suara deru kapal perlahan-lahan memelan. Sahut orang-orang di pelabuhan mulai terdengar di antara riak ombak. Saya memalingkan wajah ke jendela depan di sisi kiri. Kurang dari sepuluh meter dari tiang kokoh penyangga dermaga, kulihat kapal kayu ini mulai menepi.
Saya menghela napas sejenak dan memperbaiki beberapa kusutan baju. Gelombang laut rupanya sedang tidak bersahabat hari ini. Perjalanan dari pelabuhan Tengkayu, Kalimantan Utara menuju Tanjung Batu, Kalimantan Timur, cukup memabukkan. Saya tidak menghitung beberapa kali mata saya terpejam lalu terjaga lalu terpejam lagi.
Gelombang-gelombang yang memabukkan itu mengantarkan saya pada ingatan sewaktu berkunjung ke Baloy Mayo Adat Tidung. Bangunan itu berwarna cokelat gelap dengan ukiran indah. Tidak, maksud saya bukan hanya sekadar indah. Tapi ukiran itu diukir di atas kayu ulin. Kayu yang serupa bak intan permata dari Kalimantan.
Saya pernah mendengar, jika seseorang menemukan kayu ulin yang telah rebah, dia akan mendapatkan rezeki yang cukup melimpah. Sebab, kayu ulin kian langka, kayu ulin adalah intan permata yang berharga dan mahal harganya.
Rasa penasaran itu jua membawa saya pada perjalanan ini menuju Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Berau. Perjalanan yang cukup panjang sebenarnya, tetapi juga akan menjadi penawar dari banyak pertanyaan saya tentang Ulin Sang Pohon Besi yang namanya begitu mahsyur.
Saya menunggu mobil yang akan membawa saya menuju Tanjung Redeb, kurang lebih tiga jam dari pelabuhan Tanjung Batu. Saya berdiri di tepi pelabuhan. Di tepian itu embusan angin Selatan meniup-niup anak rambut saya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: