AGAM dan RINJANI: Kisah Cinta yang Bertawaf di Bumi Lombok

3 hours ago 6
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Oleh : Muliadi Saleh, Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Di ketinggian langit Lombok, berdiri gagah Gunung Rinjani, sang ratu alam yang tak hanya memikat mata, tapi juga menggugah jiwa. Rinjani bukan sekadar destinasi bagi para pendaki, tapi kiblat suci bagi mereka yang percaya bahwa alam adalah kitab kedua setelah wahyu. Di sanalah seorang manusia bernama Agam menapaki hidupnya, menjadikan Rinjani sebagai rumah, sahabat, guru, sekaligus tempat "ibadahnya".

Agam bukan siapa-siapa di mata dunia yang ramai. Ia tak berpakaian safari, tak duduk di kursi empuk berpendingin udara. Ia anak jalanan, anak hutan, anak Rinjani. Sejak usia dini, ia sudah belajar hidup seperti gunung: teguh, mandiri, dan tak banyak mengeluh. Ia pernah jadi porter, jadi guide, tukang cuci piring di warteg hanya untuk semangkuk nasi. Tapi ia tak pernah malu, sebab hidup baginya bukan tentang kemewahan, tapi tentang makna dan keteguhan. Agam adalah manusia langka yang mencintai gunung bukan karena eksotismenya, tapi karena ruhnya.

Jalur Hidup Seperti Medan Rinjani

Hidup Agam ibarat jalur ke puncak Rinjani: berat, curam, dan cuacanya tak menentu. Ia menumpang truk saat tak punya ongkos, mendirikan tenda saat tak punya rumah, membawa beras dan air seperti pendaki sejati yang tahu: jangan remehkan alam, jangan juga remehkan hidup. Jalannya adalah tawaf panjang ke banyak tempat—gunung-gunung lain, kota-kota kecil, pekerjaan acak yang ia sebut sebagai "zikir kehidupan". Tapi hatinya tak pernah pergi jauh dari Rinjani. Itulah kiblatnya. Rinjani adalah Ka’bah alam, tempat ia kembali, merenung, dan mencintai.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Rakyat news| | | |