
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Pemilihan Ketua RT, meski tampak sederhana, sesungguhnya menyimpan pertanyaan mendalam tentang hak, keadilan, dan keberimbangan. Apakah satu rumah setara satu suara? Ataukah satu manusia yang merdeka mesti punya hak bersuara sendiri?
Demokrasi di Halaman Sendiri
Kita terbiasa memuja demokrasi sebagai sistem suci: satu orang, satu suara. Tapi ketika pemilihan terjadi di tingkat RT, seringkali suara itu berubah rupa. Sebagian memilih sistem "1 KK 1 suara", lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih praktis. Kepala keluarga dianggap mewakili seisi rumah, dan suara pun jatuh ke tangan satu orang—biasanya sang ayah.
Namun bukankah rumah tangga juga dihuni oleh para ibu yang bijak, anak muda yang berani, dan bahkan kakek-nenek yang masih waras dan peduli?
Di sinilah kontradiksi kecil itu lahir: antara kepraktisan dan keadilan, antara kesederhanaan dan hak individu. Bila satu rumah berisi lima orang dewasa, mengapa hanya satu yang bersuara? Dan bila satu rumah hanya dihuni satu orang, mengapa ia memiliki kekuatan suara yang sama?
Suara yang Terlupakan
Dalam pertemuan RT, kita kerap lupa bahwa demokrasi bukan sekadar soal jumlah suara, tapi juga ruang untuk bicara. Bukan hanya berapa suara yang dihitung, tapi siapa yang diberi ruang untuk didengar.
Anak muda yang baru saja ber-KTP, tapi masih tinggal di rumah orang tua, bisa saja memiliki pandangan berbeda. Ibu rumah tangga yang selama ini setia hadir dalam arisan, posyandu, dan pengajian, bisa jadi lebih memahami kondisi sosial RT dibanding kepala keluarga yang jarang di rumah.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: