
Oleh: Desy Selviana
(Pusatakawan)
Perang Makassar (1660-1669) merupakan salah satu konflik terbesar di abad ke-17 yang melibatkan Kesultanan Gowa, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), serta pasukan Bone-Soppeng di bawah pimpinan Arung Palakka. Perang ini tidak hanya menjadi ajang pertarungan kekuatan militer, tetapi juga arena strategi diplomasi dan politik yang mengubah peta kekuasaan di Sulawesi Selatan.
Kebangkitan Arung Palakka dan Awal Konflik
Arung Palakka, yang merupakan bangsawan Bone, tumbuh di tengah tekanan Kerajaan Gowa yang kala itu mendominasi kawasan. Bone menjadi kerajaan bawahan Gowa, dan rakyatnya dipaksa untuk melakukan kerja rodi. Keinginan untuk membebaskan Bone dari cengkeraman Gowa membentuk ambisi besar Arung Palakka. Ia bersama pengikutnya melarikan diri ke wilayah Bone, namun Gowa di bawah Sultan Hasanuddin segera melakukan pengejaran.
Untuk memperkuat posisinya, Arung Palakka menjalin aliansi dengan Soppeng melalui Perjanjian Pincara Lopie ri Attapang. Kesepakatan ini mengikat Bone dan Soppeng dalam satu persekutuan untuk menghadapi dominasi Gowa. Namun, kekuatan mereka belum cukup untuk menandingi pasukan Gowa yang lebih besar dan lebih kuat.
Pelarian ke Buton dan Aliansi dengan VOC
Setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran di Lamuru tahun 1660, Arung Palakka melarikan diri ke Buton dan diterima oleh Sultan La Awu. Namun, Buton tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk menantang Gowa secara langsung. Atas saran Sultan Buton, Arung Palakka akhirnya mencari bantuan ke VOC di Batavia.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: