
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menyoroti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menekankan kekhawatiran terhadap kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibatasi dalam mengaudit Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Dalam Pasal 15A ayat (2) UU tersebut, BPK hanya bisa melakukan audit terhadap keuangan Danantara jika ada permintaan dari DPR. Menanggapi aturan ini, Hardjuno menilai bahwa memperlakukan Danantara sebagai entitas komersial seperti Temasek di Singapura memang bukan persoalan. Namun, jika ingin meniru model negara maju, Indonesia juga harus mengadopsi standar yang ketat dalam penegakan hukum terhadap korupsi dan etika pejabat negara.
"Korupsi harus diberantas, indeks persepsi korupsi Indonesia harus naik hingga setara dengan negara-negara maju dan modern. Hanya dengan itu rakyat bisa percaya bahwa Danantara benar-benar akan dikelola secara profesional," kata Hardjuno di Jakarta, Senin (10/3).
Menurut kandidat doktor dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini, permasalahan terbesar Indonesia saat ini adalah maraknya korupsi dengan nilai yang fantastis. Korupsi sudah mengakar dalam sistem dan belum ada kejelasan strategi pemerintah dalam memberantasnya.
Hardjuno menekankan bahwa jika pemerintah ingin menempatkan Danantara sebagai entitas bisnis murni, maka perlu ada keseimbangan dalam kebijakan anti-korupsi. Ia mengusulkan tiga langkah strategis untuk memastikan pengelolaan keuangan negara tetap transparan dan akuntabel.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: