
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat media sosial Eko Kuntadhi menyentil pernyataan salah satu pakar hukum yang menyebut bahwa pedagang pecel lele di trotoar bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pernyataan tersebut muncul dalam sebuah sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), dan memicu reaksi publik.
"Sekalian gunakan UU Subversif aja. Agar pecel lele di seluruh dunia dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikelelean dan perikepecelan," kata Eko di X @EkoKuntadhi (22/6/2025).
Komentar tersebut mewakili kekhawatiran bahwa pendekatan hukum yang terlalu ekstrem bisa berujung pada kriminalisasi warga kecil yang mencari nafkah di sektor informal.
Sebelumnya, pakar hukum Chandra Hamzah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurutnya, ketentuan ini terlalu luas dan berpotensi menjerat pihak yang tidak semestinya, termasuk pedagang kecil seperti penjual pecel lele di trotoar jalan.
Dalam sidang perkara nomor 142/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/6/2025), Chandra menegaskan pentingnya kejelasan dalam perumusan tindak pidana.
Ia menolak adanya pasal yang kabur atau membuka ruang penafsiran luas, karena bisa melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (kejelasan hukum).
Ia menjelaskan bahwa jika Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dipahami secara ketat, maka seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dapat dianggap melanggar hukum.
“Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ucap Chandra, seperti dikutip dari laman resmi MK.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: