
Oleh: La Ode Arwah Rahman, Staf Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan Pada Institut Teknologi BJ Habibie
Di tengah kemacetan demokrasi prosedural dan merebaknya sinisme publik terhadap parlemen, kehadiran tokoh seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM) layaknya oase padang gurun. Tapi sejarah memperingatkan kita, pemimpin yang terlalu dicintai, bisa lupa pada batas. Demokrasi bisa runtuh bukan karena musuhnya, tapi karena harapan yang buta.
Dalam dunia politik yang kering akan empati dan sarat kepura-puraan, KDM tampil seperti harapan baru. Tapi disitulah letak paradoksnya. Ketika rakyat begitu haus akan pemimpin yang dekat dan tegas, mereka mudah lupa bahwa demokrasi bukan hanya soal figur, melainkan sistem, dan sistem yang terlalu bergantung pada satu tokoh, betapapun kharismatik atau baiknya, bisa berubah menjadi kekuasaan yang tak terbantahkan.
Sepekan terakhir, publik dikejutkan seteru terbuka antara Kang Dedi Mulyadi (KDM) dengan sejumlah anggota DPRD Jawa Barat. Pertikaian ini dipicu respons KDM terhadap sikap para wakil rakyat itu yang dinilainya ‘tidak pro rakyat’, seperti tidak hadir pada acara Musrenbang, hingga sikap mereka yang menurutnya sering bertentangan dengan upaya eksekutif dalam membangun daerah.
Dalam video yang viral di media sosial, KDM mengkritik keras anggota DPRD Jawa Barat tidak menghadiri acara Musrembang di Cirebon, 7 Mei 2025. KDM melontarkan sindiran atas sikap mereka yang ingin dihargai, tapi tak pernah menghargai, ingin dilibatkan tapi tidak pernah mau terlibat. Reaksi balik dari anggota dewan pun tidak kalah keras, menuduh KDM melakukan pencitraan dan melemahkan institusi legislatif.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: