Sore seperti menjadi pesolek bagi kampung dan semua isi dengan indahnya. Sementara kakek sudah seperti penjaga adat bersama para tetua. Mengajak kami menyimak tradisi tak terkikis. Menurut kepercayaan, jika mengingkari, kampung kami bisa terkena balak atau nasib sial.
Kakek dan para tetua duduk sembari manantikan adzan Ashar. Dengan kopyah khas dan sarung wangi, mereka duduk di balkon musala pinggiran kampung. Kami menyebut penutup kepala itu kopyah resam. Terbuat dari bulin atau padi yang diambil dari hutan. Biasa kami membuatnya selama tiga hari.
Aneka kue kami bawa ke musala. Ditutup dengan tudung saji. Selain berfungsi menutup hidangan dari lalat, masyarakat Bangka sudah menjadikan kegiatan berkumpul di musala atau di lapang yang luas ini simbol gotong royong dan kebersamaan. Kami menyebutnya nganggung, yaitu acara makan bersama yang sudah kami lakukan turun-temurun.
Dulang atau tempat makanan untuk orang kampung pedalaman seperti kami masih terbuat dari timah. Sebagian dari masyarakat menyebutnya dengan talam. Di atas dulang atau baki ini kami atur makanan, seperti nasi, lauk pauk, buah-buahan, atau kue. Sedangkan para tetua kampung memakai baki berbahan daun mengkuang atau pandan hutan dan sebagian lagi daun purun. Mereka melakukan itu agar tradisi yang sifatnya asli tidak lantas punah.
Nganggung di waktu ini dipadu dengan acara lomba-lomba tradisi untuk anak-anak. Pastinya hal itu membuat kami gembira. Ternyata hidup ini tidak sekolah, tugas , atau bermain game. Di sana ceria tercipta lebih dalam, tidak sekadar lepas dari tugas guru. Senyum tawa lepas tanpa beban, tiada lagi kerut terlihat saat padang hijau mengiring canda Kami menyebutnya nganggung
Kini, anak-anak kampung seperti dilepas untuk berperang. Kakek ingin saya merasakan dunia yang berbeda bukan dunia yang diciptakan oleh layar maya. Sore yang seolah dikirimkan Tuhan kepada kami, membuat dunia yang baru. Di sudut kampung matahari sore berpasang-pasang mengantar pucuk sawit yang di belai belai oleh angin.
Orang-orang tua tersenyum sembari membawa cucunya menerawang kembali ke masa lalu. Dialah para pekerja tambang zaman Belanda, seperti halnya kakek, yang kembali dari masa lalu untuk menjemput kami menuju nostalgia. Waktu semakin berlalu kala azan Asar pergi. Nama kami keluar harus berpasangan berpasang-pasangan.
Adik saya si Agif yang gendut berpasangan dengan saya. Orang-orang tua sudah tersenyum dan tertawa, perasaan saya tidak enak. Sepertinya mereka sudah tahu apa yang terjadi lewat sorot mata ke arah kami.
“Kereta surung!”
“Kerito Surong!” bergegas kakek membetulkan pelafaan saya.
Menyebut nama saja salah, tapi saya tak peduli. Yang penting adik saya yang paling gemuk terangkat. Karena lomba, piala dan hadiah uang tetap jadi sasaran. Paling tidak untuk mengatasi nafsu makan adik yang merepotkan uang jajan. Para peserta lomba mengeluarkan tenaga maksimalnya untuk mencapai garis finish pertama sekali.
Dengan jarak dari garis start ke garis finish kira – kira jarak tempuh 40 meter, si Agif sambil menyemangati untuk lebih cepat mendorong kerito sorong (Kereta dorong). Di awal saya dan Agif memimpin perlombaan, tetapi di pertengahan saya sudah lelah mengangkat badannya yang berat.
Hal ini membuat saya kehilangan harapan untuk memenangkan perlombaan. Dengan santainya Agif tetap menyemangati untuk memenangkan perlombaan dan cepat menyusul para peserta yang telah mendahului kami.
Tali plastik membuat kami bingung di taruh di mana paling tidak kebingungan kami teratasi dengan melihat regu lain. Kerito Surong yang berasal dari kayu pohon pelempang, durian, dan gerunggang. Roda terbuat dari kayu banir (akar) cempedak, kayu yang diyakini besar dan kuat.
Suyak berbentuk keranjang anyaman rotan atau bambu yang dulu untuk tempat panen lada. Bidai kayu yang berasal dari kayu gerunggang. Jembatan bambu atau kayu yang berasal dari kayu ulo-ulo. Ada juga kayu Pentungan atau kayu estafet.
Jalan lari berbelok untuk menguji regu membawa, memikul, dan mendorong kerito surong agar mampu mengkoordinasikan otak kanan dan kiri, serta kecepatan berpikir kritis. Tikungan dimaksudkan agar pemain mampu menjaga keseimbangan dan memberikan atraksi yang memukau penonton. Jembatan bidai bertujuan untuk menyelaraskan penampilan, kekuatan, kecepatan, dan kelincahan. Jembatan keseimbangan: digunakan untuk menguji semua potensi dan kerjasama yang baik antar anggota (kekompakan).
Filosofi kerito surong menurut kakek yaitu pengambilan keputusan dan pemberian tongkat estafet pada saat regu berada di rintangan jembatan bidai. Hal ini menyiratkan pesan hidup bahwa ketika musim panen tiba dengan hasil yang melimpah ruah untuk selalu memberikan sebagian hasil tersebut kepada orang lain.
Setelah menempuh lintasan halang rintang, regu yang telah selesai mengambil atau memberi tongkat di tempat yang telah ditentukan, maka regu lain melanjutkan permainan tersebut sampai waktu yang telah ditentukan oleh sesepuh kampung.
Regu yang banyak mengumpulkan tongkat estafet (bahan pangan atau persediaan lada) dengan waktu tercepat akan diputuskan menjadi pemenang. Hal ini menyiratkan makan bahwa siapa banyak mengumpulkan amal kebaikan maka dialah yang sesungguhnya menjadi pemenang.
Senja sudah usai. Kami kembali ke rumah di balik bukit punya kakek.
Semua penduduk adalah pendatang dari suku yang diberi nama urang darat (lom) dan urang laut (sekak) yang masyarakatnya masih menganut animisme. Bangsa Melayu dari daratan maka dengan membawa agama Islam yang kemudian berkembang sampai sekarang. Ada juga yang mengatakan bahwa di pertengahan abad 20 Pulau ini ditulis dengan ejaan Bangka kemudian seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan Bangka.
Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka berhadapan dengan Delta Sungai Musi berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah yang berarti bingung atau berdasarkan pengertian itu tahun 1983 dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua uang, sedang Bangka berasal dari kata Vanka yang berarti timah dalam bahasa Sansekerta, karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.
Bangka muncul pertama kali bersama dengan Swarnabhumi dalam buku sastra India Pantai yang ditulis abad ke-1 sebelum masehi. Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai Pulau Sumatera. Nusantara mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata uang atau panca 1368 itu terletak di sebelah barat Pulau Kelapa atau Pulau Belitung istilah menghitung merupakan julukan para pedagang Arab.
Sejak zaman dahulu, suku lom memproduksi padi kering, singkong, dan umbi-umbian sebagai tanaman haknya. Sedangkan suku lom yang tinggal di permukiman pantai sumber menjadikan menjadikan sumberdaya maritim sebagai mata pencaharian. Mereka rukun dan damai. Disebut sebagai suku mapur karena awalnya sebagian besar anggota suku tinggal di Dusun Mapur.
Bukan kalah atau menang, tetapi seperti halnya drama yang dimainkan, perjalanan kami di Pulau Bangka menjadi cerita yang tak mungkin kulupakan. Tidak sekadar cerita tentang pantai, pulau ini menyimpan sejuta kenangan yang akan kuceritakan sesampainya di Jakarta. Deru ombak mengantar kami di sore yang membawa langkah akhir cerita-cerita senja. Kubawa hingga nanti.
Salamku pada kakek mengiringi cerita-cerita di senja itu. Aku kembali ke Jakarta dengan senyum dan mengengam kenangan untuk kisah di rumah nanti. Semoga di lain waktu aku basa kembali lagi untuk bermain kerito surong dan menghirup udara kelahiran orang tuaku: Pulau Bangka. (***).