Selain kompak mengeluarkan baju, jurusan otomotif memang kami jadikan pelarian karena tak mampu menahan kecanduan rokok. Apalagi Bu Multi dengan suara lembutnya tak mampu menandingi kami, para penguasa sekolah. Matematika akan kami balas dengan ulah!
Berkali-kali kami sukses membuat guru matematika itu menangis. Sengaja kami buat agar ibu guru yang mengajar kami putus asa. Jika sudah menangis, maka itulah prestasi di tangan kami. Dua belas kali sudah Bu Multi menangis di semester ini, padahal belum Desember. Mungkin skor akan terus bertambah untuk kemenangan siswa.
Semenit dua menit berlalu beliau belum juga datang. Mungkin sudah terbaring lemas di UKS karena waktu ini adalah jam pelajaran di kelas otomotif. Hanya sehelai tugas dari kantor, itupun dititip lewat adik kelas. Bu Multi benar-benar sudah menyerah tanpa syarat melawan kelas kami.
Kami tak segan menaikkan kaki ke meja. Bu Multi, si Guru Muda itu tak akan pernah marah. Jika dia marah pun kami tak peduli, yang penting kompak. Tapi yang jadi pertanyaan kami, mengapa Bu Multi belum muncul juga, padahal sudah 30 menit pelajaran matematika.
Rumus geometri sedari tadi sudah menjadi teka-teki bagi kelas. Anak jurusan ilmu mesin yang memang sudah antipati pada segala sesuatu yang bersifat perhitungan. Si ketua kelas menuliskan di papan tulis. Semakin lama ketua kelas menulis di papan tulis, jidat kami berkerut. Spidol hitam itu melangkah jengkal demi jengkal sudah mirip obat tidur.
“Apakah dia sudah gantung diri? Haha!” ucapan saya disahut satu kelas dengan tawa terbahak. Kami semakin merasa menang, mungkin perut guru itu mendadak mulas jika harus mengajar jurusan otomotif. Hari ini akan tambah satu lagi gol bersarang digawang. Lengkap sudah 13-0 untuk kemenangan anak otomotif.
“Hari ini Bu Multi tidak mengajar, hari ini ada guru pengganti!” Kepala Sekolah sekilas saja menyampaikan kepada kami di kelas, sesudahnya ia pergi. Singkat, padat, dan jelas, ucapan Pak Wisnu barusan mengundang tanya untuk kami.
Mungkin Bu Multi sudah tak tahan dengan kelakuan kami yang sering membuat beliau menangis di kelas. Jika kami berisik dan tak hirau dengan teguran guru matematika muda di kelas otomotif, maka potensi dia menangis di kelas akan besar. Sebuah prestasi yang layak kita rayakan sembari merokok di kantin.
Dua menit kemudian langkah kaki itu terdengar dari luar kelas . Sepatu lapangan yang biasa dipakai oleh aparat terdengar. Meski langkah itu lambat, tapi suara sepatu itu asing bagi siswa.
“ Mulai hari ini, saya mengajar di jurusan mesin!”
Dengan tubuh agak tambun, rambut klimis, kulit putih, baju biru berdasi hitam garis-garis, dan berjas hitam. Wajah seriusnya menatap kami satu persatu. Tak ada senyum sedikitpun dari wajah itu. Sorot matanya tajam melingkar di atas matanya yang agak sipit. Mata itu tanpa toleransi menatap kami seperti pedang tajam.
Dengan rambut klimis disisir ke belakang, karakter guru ini jelas berbeda dengan Bu Multi yang lembut. Apalagi jas hitam yang ia kenakan menambah kesan sangar, menunjukkan bahwa dia siap membabat siapapun yang coba mengganggu.
Tangannya sudah mengepal-ngepal sedari tadi. Satu persatu kami ditatapnya dengan tajam tanpa berkedip. Sepertinya saya hafal dengan tatapan mata ini.
“Berdiri!”
Perintahnya sembari memegang mistar pengukur yang khusus terbuat dari besi berukuran satu meter. Dipegangnya sembari melangkah keliling kelas. Satu persatu wajah kami dia tatap dengan tajam. Makna dari sorot mata itu jelas menguliti mental kami.
“Duduk!”
Saya yang selama ini jadi preman kelas sebenarnya tak gentar. Tapi jika mistar panjang itu menyambar, saya akan ke rumah sakit juga.
“Masukkan baju! Kalian anak sekolah, bukan sopir bajai!”
Bentaknya sembari menudingkan mistar. Seketika mental kami drop. Layaknya orang tersihir tunduk dihadapan orang sakti, itulah keadaan kami saat ini. kelas dengan kenakalannya mendadak seperti tertembak mati di tempat. Saat itulah kami seperti kalah perang melawan negara musuh yang memiliki puluhan senjata pemusnah masal.
“Saya Ali! Guru matematika di kelas kalian! Aturannya jelas! Barang siapa bergerak, menoleh, apalagi berulah risikonya adalah. . .”
“Sangat mirip dengan seorang presiden, tapi . . .siapa?” guman saya selama semenit. Dia akan melawan hegemoni barat dengan nuklirnya.
“Kim Jong Un!” teriak saya dalam hati sekencang-kencangnya, tapi tetap dalam hati. Andai sebutan Kim Jong Un saya lantangkan, bisa jadi sekarang saya sudah ditandu ke UKS, lalu ambulan puskesmas mengangkut korban.
Dialah Pak Ali, guru baru di sekolah kami. Nama panggilan Kim Jong Un itu hanya julukan saya dalam hati, sama sekali belum terlontar. Kami masih berdiri. Otot-otot yang selama ini releks dengan pelajaran Bu Multi mendadak kram. Penguasa Korea Utara hadir di pelajaran matematika kami.
Menurut guru Sejarah, dialah penganut paham negara tertutup. Tiap warga negara yang melanggar hukum akan disanksi dengan hal yang diluar nalar. Di dunia ini tidak ada pemimpin yang tega mengrung rakyatnya kecuali Korea Utara. Saat ini mereka baru meluncurkan senjata nuklir terkuat di dunia bernama Hwasong-19. Konon nuklir itu diklaim bisa sampai ke Gedung Putih, wajar jika Kim Jong Un tak gentar dengan Barat.
“Ulurkan tangan!” disalaminya tangan saya lalu dicium, maka terhiruplah aroma rokok lekat di tangan. Ketika tangan Pak Kim Jong Un merasakan aroma rokok pekat, langsung jantung saya berdebar. Saat ini saya seperti menanti hukuman tembak bergilir dan terikat di tiang eksekusi dengan tegang.
“Sana, berdiri di depan!” saya masih lega karena menunggu aroma rokok lain yang tertangkap Pak Kim. Tetapi membayangkan giliran eksekusi dari penguasa negara timur jauh sangatlah menegangkan.
Bukan film Rambo atau Combat, tapi ini film terbaru dari hollywood bertema pembebasan negara dari komunis! Senjata berlaras panjang dengan ukuran peluru 12 siap menembus batok kepala saya. Bisa jadi dalam hitungan menit, saya akan segera dikirimi tiket ke akhirat secara cuma-cuma.
Saya yakin, tidak hanya saya yang akan tertangkap basah oleh Pak Kim. Penguasa negara Korea Utara itu masih berkeliling menciumi aroma rokok dari tangan kami.
“Tidak mau!”
“Maju!”
Satu lagi perokok berat tertangkap oleh Pak Kim. Guru baru itu menelanjangi kami di depan kelas. Satu persatu korban kalah perang maju di muka dengan tangan terangkat di atas kepala. Kami jongkok dan dipaksa tunduk oleh guru baru yang sangat berbeda dengan guru sebelumnya. Kali ini kami satu kelas dibuat tak berkutik oleh guru pengganti yang killer.
Tak main-main, mistar besi berukuran satu meter sudah menghampiri. Kami seperti negara taklukan, kalah perang, dan siap menerima hukuman mati. Hari ini adalah akhir dari kehidupan siswa perokok. Taring para preman beraroma pabrik rokok sudah terlucuti satu persatu.
Pak Kim memandangi 10 siswa beraroma rokok. Langkahnya tegap, meski tambun, bukan berarti dia tak berani menghabisi kami. Maka hari ini bisa jadi akan menerima hal yang sama.Tak mengada-ada, mistar yang ada di tangan Pak Kim Jong Un sudah siap membelah kepala kami dengan sekali sabet. Kami sudah siap dieksekusi.
Beliau masih memberi kami kesempatan terakhir. Biasanya orang yang dihukum gantung atau tembak mati akan diberi kesempatan mengucapkan permintaan . Bisa makanan paling enak, hadiah untuk keluarga terdekat, atau warisan (selagi negara punya uang).
“Kamu merokok?”
“Tidak, Pak!” Satu, dua, . . .(saya menghitung dalam hati)
Plakkkk! Plakkkk! Tamparan meluncur ke arah wajah saya, kontan. Mata saya berkunang-kunang. Sepertinya bumi memang berputar pada porosnya. Membawa saya teringat dosa dan perilaku pada Bu Multi, guru matematika dengan pribadi halus dan penyayang. Terngiang tangisan beliau saat menahan amarah karena kami jahili.
Pak Kim Jong Un melangkah. Menghampiri siswa beraroma rokok pekat di sekolah kami. Satu persatu tangannya menampar dengan keras ke arah wajah. Tampaknya tamparan Pak Kim Jong Un terlatih untuk membuat lawan roboh. Beberapa di antara kami terhuyung jatuh ke lantai, ada yang sempoyongan, bahkan tergeletak.
Pengusa negara timur jauh di kelas kami itu semakin mengingatkan senyuman Bu Multi yang berusaha menghibur kami karena soal matematika itu sulit. Dia tetap tabah dan sabar meski kelakuan kami seperti landak. Sentuhan lembutnya mendadak kami rindui sepenuh hati. Bandingkan dengan , tamparan Pak Kim Jong Un membuat kepala pusing mendadak.
Budaya negara komunis selalu saja berlawanan dengan prinsip kami, siswa penuh syariat dan penuh ampunan. Di sana orang korupsi akan dihukum mati, sedang di negeri ini narapidana bisa mencalonkan kembali saat pemilu. Padahal setahu saya, komunis itu sama sekali tak mengenal Tuhan.
Bel pelajaran berbunyi. Kami berhambur mencari Bu Multi, tapi yang kami dapati hanya mejanya yang kosong. Di sana ada sepucuk surat untuk kami. “Maaf, Nak. Ibu sementra tidak bisa mengajar kalian karena ada kuliah profesi. Sampai jumpa enam bulan lagi.”
Kami sekelas tertunduk lesu di depan ruang guru. Pak Kim Jong Un menatap sinis saat lewat di dapan kami. Enam bulan yang pasti kami nanti. Mudah-mudahan Bu Multi masih sudi mengajar di kelas dan kembali menyayangi kami. (***).