Debat mengenai legalisasi ganja medis telah berlangsung lama dan menjadi topik yang sangat kontroversial di banyak negara, termasuk Indonesia. Pro dan kontra mengemuka, masing-masing didukung oleh argumen yang kuat. Di satu sisi, para pendukung legalisasi berpendapat bahwa ganja medis memiliki potensi besar dalam meringankan penderitaan pasien dengan berbagai penyakit.
Di sisi lain, penentang berargumen bahwa legalisasi akan membuka pintu bagi penyalahgunaan dan menimbulkan masalah sosial yang lebih luas. Tanaman ganja merupakan tanaman yang dikenal masyarakat di dunia sebagai tanaman yang dapat menyebabkan kecanduan dan berbagai stigma negatif lainnya.
Pada tahun 1961 diadakan konvensi internasional yang memasukkan ganja dalam golongan IV zat yang membuat ketagihan dan sangat rentan dalam penyalahgunaan sehingga dianggap berbahaya dan memerlukan peraturan yang ketat dalam penggunaannya sebagaimana disebutkan dalam lampiran I undang- undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
PusatData dan Penelitian BNN, Survei Penyalahgunaan Narkoba Tahun 2021. menyebutkan, tanaman ganja termasuk narkotika golongan I yang mempunyai potensi penyalahgunaan yang tinggi dan tidak digunakan dalam rangka terapi/pelayanan kesehatan walaupun dalam jumlah terbatas.
Hal ini membuat segala bentuk produksi, distribusi dan penggunaan tumbuhan ini beserta turunannya dilarang keras kecuali untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah terbatas. Bahkan dengan peraturan yang ketat mengenai penggunaan ganja, penyalahgunaan ganja di Indonesia merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan persentase 41,4 persen pada tahun 2021.
Badan Narkotika Nasional (BNN) dan sejumlah ahli yang menentang legalisasi ganja medis berpedoman bahwa kebijakan legalisasi ganja dengan alaasn ekonomi justru berdampak buruk dan akan mengakibatkan kecelakaan yang akan menimbulkan biaya medis dan rehabilitasi.
Semakin dilegalkan, penyebaran ganja dan penyalahgunaan oleh remaja dikhawatirkan daat meningkatkan angka kejahatan dan kriminalitas.
Sejumlah negara telah melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. MA ElSohly, S. Chandra, M. Radwan, CG Majumdar, dan JC Church, “Tinjauan Komprehensif Potensi Ganja di Amerika Serikat dalam Dekade Terakhir,” biologi.
Pengetahuan Psikiatri. ilmu saraf. Pencitraan saraf, menyebutkan, berdasarkan data yang dikumpulkan dari negara-negara tersebut (seperti Amerika Serikat,Kanada, Belanda, Israeldan Australia), hanya terdapat sedikitdampak buruk atau masalah yang timbul dari penggunaan ganja sebagai pengobatan dan banyak pasien yang perlu mendapatkan resep untuk obat ganja.
Ganja mempunyai manfaat terutama sebagai tanaman obat dan pengobatan beberapa penyakit kronis. Penelitian yang dilakukan di luar negeri menemukan manfaat ganja untuk keperluan medis. Penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2010 hingga 2011 terhadap pasien dengan penyakitkronis menunjukkan bahwaganja aman dan efektif bagi pasien karena dapat mengurangi rasa sakit, insomnia, dan dapat membantu meredakan kecemasan.
Selain itu, obat-obatan berbahan dasar ganja telah terbukti efektif dalam penyakit lain seperti multiple sclerosis, nyeri neuropatik kronis, mual dan muntah akibat kemoterapi dan epilepsi antiemetik, stimulan nafsu makan pada kanker dan AIDS, pengobatan penyakit cedera tulang belakang, sindrom Tourette, hingga glaucoma.
Argumen pendukung legalisasi ganja untuk kepentingan medis mengatakan ganja juga dapat dapat membuka peluang bisnis baru dan menciptakan lapangan kerja. Industri ganja medis memiliki potensi untuk menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan.
Dengan melegalkan ganja medis, pemerintah dapat mengatur produksi, distribusi, dan penggunaan ganja secara lebih baik. Hal ini akan mengurangi aktivitas pasar gelap dan memudahkan penegakan hukum.
Ganja mempunyai kegunaan dalam sektor industri antara lain penerangan, tali-temali, jangkar kapal, cat atau pernis, bahan bangunan, bahan kaos, kosmetik, perawatan kulit,dan cat atau pernis.
Tanaman ganja juga menghasilkan serat yang mempunyai potensi besar sebagai sumberserat tekstil berkelanjutan. Serat ganja juga menjadi salah satu bahan baku hemcrete sebagai alternatif beton yang tujuh kali lebih kuat, dua kali lebih ringan,lebih elastis dan lebih tahanretak dibandingkan beton biasa.
Studi yang dilakukan di Kanada menemukan bahwa industri ganja mampu bersaingdengan tanaman penghasil energi lainnya di pasar global bahan baku bioenergy, sehingga menjadi lebih ekonomis.
Penjelasan tersebut menjadikan tanaman ganja sebagai potensiindustri yang lebih menguntungkan dan berdampak pada peningkatan sumber pendapatan negara jika dapat dikelola dengan baik.
Argumen penentang legalisasi menyebutkan Potensi Penyalahgunaan ganja ini dikhawatirkan akan membuka pintu bagi penyalahgunaan oleh kalangan muda dan meningkatkan prevalensi penggunaan ganja secara rekreasi.
Ganja juga berdampak negatif bagi kesehatan karena penggunaan ganja dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, gangguan kognitif, dan masalah paru-paru. Legalisasi ganja medis dapat memicu peningkatan angka kriminalitas terkait narkoba dan masalah sosial lainnya.
Analisis
Penyalahgunaan narkoba khususnya penggunaan ganja dinilai membawa dampak negatif, terutama dari segi kesehatan. Penggunaan ganja dapat peningkatan frekuensi depresi, kecemasan, gangguan kognitif, masalah penyalahgunaan narkoba lainnya, dan kecelakaan serta dikaitkan dengan penyebab gangguan kesehatan fisik dan mental.
Dalam pandangan lain, selain THC (Tetrahydrocannabinol), ganja juga mengandung kandungan utama CBD (Cannabidiol) yang merupakan cannabinoid non-psikoaktif yang aktivitasnya diyakini mampu melawan epilepsi pada anak dan memiliki banyak efek terapeutik penting seperti analgesik, antispasmodik, antitumor, antiinflamasi, antioksidan, pelindung saraf,stimulan nafsu makan, gangguan tidur,multiple sclerosis, skizofrenia, dan kanker.
Tentunya legalisasi ganja medis bukanlah sesuatu yang sederhana. Keputusan untuk melegalkan ganja medis harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan komprehensif.
Di satu sisi, potensi manfaat medis ganja tidak dapat diabaikan. Namun, di sisi lain, risiko penyalahgunaan dan dampak negatif terhadap kesehatan juga perlu diperhatikan.
Sebagai gantinya, pemerintah dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih moderat, seperti: membuat deregulasi terbatas yaiut mengizinkan penggunaan ganja medis dengan pengawasan yang ketat dari tenaga medis, mendukung penelitian mengenai potensi medis ganja dan dampak jangka panjang penggunaannya, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, termasuk ganja.
Pemerintah juga dapat melakukan pencegahan dengan memperkuat program pencegahan penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja.
Kesimpulan
Jadi, legalisasi ganja medis adalah isu kompleks yang membutuhkan solusi yang komprehensif. Dampak positf dan negatif ganja masih memunculkan banyak perdebatan dan secara hukum, undang-undang yang mengatur kebijakan penggunaan narkotika belum mendapat perubahan sehingga ganja masih merupakan golongan narkotika.
Kebijakan mengenai penggunaan ganja untuk keperluan medis atau ganja medis legalisasi di setiap negara berbeda-beda dengan melihat kebutuhan dan karakteristik negara tersebut.
Pemerintah harus menimbang semua aspek, baik manfaat maupun risikonya, sebelum mengambil keputusan. Pendekatan yang berimbang dan berbasis bukti ilmiah adalah kunci untuk menemukan solusi yang terbaik bagi masyarakat.(***)