Jurus tongkat diperaragan pendekar beberapa murid perguruan. Tongkat berbahan kayu bulin berbentuk panjang bulat atau segi lima dilemparkan. Identitas silat tradisi Akek Bintit adalah permainan trisula dan tongkat. Tongkat atau toya yang ada di genggaman saya berasal dari kayu yang tumbuh berusia puluhan tahun. Orang Bangka menyebutnya tongkat tembung.
Selain berbahan kayu bulin, tongkat tembung bisa dibuat dari mentigi dan rotan. Toya dan trisula adalah identitas Komunitas Seni Silat Tradisi Syahadat Sejati yang beralian Silat Akek Bintit.
Di Tiongkok tongkat atau toya merupakan salah satu dari empat senjata utama dalam seni bela diri, bersama dengan qiang (tombak), dao (pedang), dan jian (pedang lurus). Toya digunakan oleh pesilat dari segala usia dan tingkat keahlian, namun para pendekar lebih sering menggunakan toya berbahan dasar kayu bulin.
Gendang dan gong mengiring beberapa pendekar memainkan trisula dan toya bergantian. Gerakan pendekar mengikuti lagu yang dimainkan. Semakin cepat irama musik, semakin cepat gerakan pesilat.
Seruling tak lagi dugunakan karena sulitnya mempelajari alat musik tiup itu. Seni silat tradisi aliran Akek Bintit didapat secara turun temurun atau orang yang dipercaya mampu.
Air jeruk menyiram tubuh para pendekar saat upacara penasbihan. Mereka dimandikan dengan air jeruk. Filosofinya menyapu akhlak buruk dan melawan hawa nafsu. Air jeruk dalam acara itu bermaksud pembersih dari sifat jahat. Acara ritual itu bernama mandi belanjer yang dilakukan dengan air sungai yang mengalir ke arah timur.
Seperti Sungai di kaki Menumbing yang selalu jadi tempat orang Mandi Belanjer. Tapi tidak sembarang waktu para pendekar bisa melakukannya, mereka perlu menunggu waktu yang baik.
Masyarakat menyebutnya dengan ceriak nerang atau bulan terang. Ada dua waktu di Bangka, yaitu bulan terang dan bulan gelap. Bulan terang disebut juga ceriak nerang, sedangkan bulan gelap disebut juga ceriak ngelem.
Dahulu kala, orang belajar silat adalah untuk melindungi diri dari serangan bajak laut atau lanun.
“Kopi, Bang,” ujar salah seorang dari mereka. Saya tak boleh menolak tawaran makanan atau minuman dari orang Bangka. Katanya itu pamali. Paling tidak saya disuruh mencicip sedikit untuk menangkal sial yang datang karena menolak makanan yang ditawarkan.
Beberapa orang membawakan singkong rebus pada saya. Lalu sambal kecap juga sudah ditawarkan. Lagi-lagi saya tak akan menolak karena memang perut ini sudah sangat keroncongan.
Karena perjalanan jauh dan kekenyangan, tak sadar saya tertidur di serambi perguruan. Angin sejuh dan sepoi membantu saya terlelap sejenak. Apalagi sedari tadi saya sangat senang dengan ayam bakar yang terpanggang sesampai di Dusun Rajek. Ditambah lagi sedikit nasi, singkong, dan sambal kecap. Lengkap sudah saya tertidur di waktu menjelang sore itu.
Selepas Magrib, beberapa pendekar berpakaian hitam telah menunggu saya di halaman perguruan. Malam ini semakin dingin. Kabut turun dari atas bukit dengan udara menusuk kulit. Saya heran, meski di pinggir laut entah kenapa udara dingin semakin menusuk, padahal biasanya panas. Kabut yang turun di sekitar perguruan semakin lama semakin pekat.
Beberapa orang membawa obor muncul dari balik pepohonan pinggiran hutan. Entah siapa yang mengundang, kemunculan mereka penuh misteri dan membuat saya merinding. Mereka berjubah dan berbaju hitam dengan wajah tak tampak. Membentuk lingkaran agak besar dengan obor di pinggir. Mereka menyalalan api unggun dengan ditaburi kayu harum berbentuk sapu lidi, orang Bangka menyebutnya garu.
Suara mantra-mantra terdengar dari salah satu orang di antara mereka. Tak lama kemudian satu dua jurus diperagakan. Beberapa orang membawa gendang dan seruling untuk mengiringi gerakan-gerakan silat itu. Sementara beberapa orang lagi menancapkan api unggun kecil di tengah lingkaran itu dengan garu.
Dua orang mendekat, jantung saya berdebar. Lalu tanpa memperlihatkan wajah karena tersembunyi di balik jubah, mereka mengajak saya untuk masuk dalam lingkaran. Tanpa ragu saya mengiyakan ajakan itu.
Sedari tadi firasat saya tidak enak, dalam hati doa-doa dan ayat pendek terlantun, dengan harap menjauhkan diri dari kesialan. Bagaimanapun saya baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini.
Setelahnya sampailah saya di tengah-tengah ligngkaran itu. Satu orang maju untuk menghadapi saya. Tubuh pendekar yang maju ke arah saya sangatlah kurus, namun tinggi. Kali ini dia membuka jubahnya. Alangkah terkejut saya karena mata pemuda itu berlumuran darah.
Seseorang yang tampak dia adalah pemimpin di antara mereka menjadi penengah. Dalam hitungan ketiga saya dan lelaki misterius itu memperagakan gerakan awal dari perguruaan. Gerakakannya baru kali ini saya lihat, tak lama kemudian dia menyerang saya dengan cepat.
Tangkapannya sangat kuat. Lalu ia melakukan tarikan. Saya serang balik dengan tendangan dari bawah. Saya serang lututnya, secepat kilat dia menghindar dan menyerang balik dengan tendangan dari samping. Beberapa mili tendangannya meleset, hanya menerpa angin.
Serangan kedua saya lancarkan, ia terus menghindar dan menghindar. Sekali pukulannya mengenai punggung. Tapi, dengan mudah ia melakukan tangkapan, putaran, patahan, dan mengunci saya.
Saya sedari tadi seperti mendapati tubuh lelaki misterius itu sangat dingin seperti es. Dengan tekanan dan gerakakan secepat itu, seharusnya ia mengeluarkan keringat. Gerakkan yang dilakukan untuk mengunci tak berproses, sangat cepat, dan saya tak tahu dari mana ia mendapat gerakkan itu. Tenaganya sangat kuat dan cepat.
Tak ada jalan lain. Tenaga harus dikalahkan dengan kecepatan, tapi saya masih ragu apakah kecepatan saya mampu mengimbangi lelaki dengan mata berdarah itu. Sekali pukulanku mengenai punggung. Satu pukulanku berhasil meraih perutnya. Serangan berikutnya pukulanku menerjang dada kirinya.
Kepalanya hampir jadi sasaran kecepatan jurus saya. Sekali lagi coba saya lepaskan jurus kilat. Akhirnya dua kali saya berhasil memasukkan pukulan kedadannya. Akhirnya saya berhasil mengalahkannya di babak kedua.
Ronde ketiga. Beberapa gerakan kilat saya dihindarnya dengan mudah. Dia belajar dari kekalahan babak kedua. Sekali dua kali pukulan cepat saya meleset. Saya lengah, sepakan kuda-kuda saat melancarkan pukulan kilat disepak lewat gerakan bawah. Saya terjatuh dan terkunci.
Setelah tarung Sambung, setelahnya saya dibawa ke arah bukit. Orang-orang ini benar-benar misterius, wajah dan perawakanyya tinggi besar, aroma harum garu semakin menyengat semerbak. Di bukit yang gelap dan rimbun, di sana sudah ada beberapa orang terikat di pohon. Namun sayang mereka hanya tinggal jasadnya saja.
Sepanjang jalan, saya mendengar sayup-sayup bunyi orang memainkan seruling dan gendang, sangat mirip dengan lagu melayu di perguruan tadi sore. Karena bukit dan rerimbunan terlalu lebat dan gelap, saya tidak bisa mendeteksi dari mana arah suara musik itu.
“Kamu sudah saya ikat dan tak bisa kembali!”
Di atas bukit tampak mata air bening di tengah sinar rembulan yang bersinar. Air beraroma jeruk perlahan dimandikan ke sekujur tubuh saya. Setelah sekian waktu baju silat saya basah kuyub oleh air beraroma jeruk. Mereka lalu mengikat saya di pepohonan bersama beberapa orang.
Saya meronta, tapi semakin lama berontak ikatan itu melilit dengan sendirinya. Entah ini kekuatan dari mana. Para pendekar berjubah tadi telah menyalakan api dan membaca mantera -mantera misterius.
“Apakah kau siap tak bisa kembali ke tempat asalmu?”
Ikatan itu saya lepaskan. Beberapa orang saya tendang dan tersungkur. Saya lari menelusuri jalan di bukit untuk turun ke bawah. Saya nekat. Tak peduli akan sampai di mana, tapi seingat saya arah utara ini tadi saya berasal.
Saya berusaha sekencang mungking menerjang semak-semak dan pepohonan gelap, tapi anehnya selalu saja saya kembali di tempat semula. Sampai waktu menjelang pagi. Saya coba terus berlari ke arah utara bawah, tapi sayang kembali lagi di tempat yang sama.
Kaki saya lemas tak berdaya, tergolek lesu di bawah pepohonan besar. Tak ada jalan lain selain meminta pertolongan padaNya. Baru kali ini selama hidup saya benar-benar meletakkan nasib kepada Sang Maha Pencipta. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuh. Kali ini saya benar-benar tak berdaya.
Lalu dari balik semak munculah anjing putih kecil. Dia berjalan pelan menuju ke arah barat, lalu langkahnya saya ikuti. Dia seolah-olah ingin mengajak saya mengikuti langkahnya. Ketika saya berhenti, dia pun berhenti, Ketika saya ingin berjalan, ia berjalan ke arah bawah.
“Bangun, Nak. Kamu sedari malam tak sadarkan diri. Kejadian yang kamu alami semalam memang nyata karena kemarin siang kamu memanggang ayam. Aroma ayam itu sampai ke Hutan Larangan di pinggiran kampung.”
“Orang-orang berjubah hitam yang kamu temui dalam mimpi adalah para penunggu Hutan Larangan. Pantangan di kampung ini adalah memanggang makanan, apalagi ayam. Hal itu akan mendatangkan balak. Jika tak kami tolong, jiwamu tak akan pernah kembali lagi!”
Rupanya saya tak sengaja melanggar pantangan kampung. Barang siapa membakar ayam atau sejenisnya untuk makan akan mendapat nasib sial. Anjing putih kecil adalah perantara saya kembali dari dunia gaib di kampung itu.
“Kamu sudah mandi belanjer bersama para penunggu hutan bukit larangan, pertanda kamu sah menjadi anggota mereka. Para pendekar itu menculikmu ke alam lain itulah para penunggu di alam gaib. Mereka menginginkan jiwamu. Untunglah kamu membaca doa hingga muncul anjing kecil yang menyelamatkan jiwamu. Kalau tidak, kamu akan jadi penunggu Hutan Larangan selamanya.”
Tetua padepokan menepuk pundakku dan memberi tongkat tembung untuk kembali berlatih bersama murid lain. Sementara di sudut rumah, ada orang berjubah hitam memandangiku dengan tajam, matanya berdarah. Saya balas tatapan itu. Lalu ia tersenyum dan menghilang.
Tak salah, dialah yang mengajak saya bertarung di hutan larangan. Meski hanya dalam mimpi, tapi menurut tetua, mandi belanjer bisa dilakukan meski hanya dalam mimpi. (***).