Ireng dan Putih

3 weeks ago 17

Sekian waktu kami menanti, akhirnya istri saya hamil. Desakan ayah dan ibu agar segera punya keturunan memang tidak ada, tapi pertanyaan kapan Lara mengandung sama saja dengan maksud bahwa beliau ingin segera menimang cucu. Apalagi saya anak tunggal dan laki-laki satu-satunya di keluarga besar. 

Kebahagiaan yang kami nantikan pun akhirnya datang. Disertai dengan doa dan harapan dari keluarga, tetangga, atau kerabat terpancar bahagia hadir silih berganti. Perut mual apalagi permintaan aneh Lara saat hamil muda membuat siapaun kebingungan. 

“Tempat itu angker, Lara . . .”

Lara tak jua bergeming dengan peringatan itu. Saya hanya bisa menuruti cara ngidam yang tak biasa dari perempuan di sisi saya. Belum lagi mitos siapapun yang memasuki hutan itu akan terkena balak.   

Dipenuhi tetumbuhan lebat. Semerbak bau dupa. Aromanya  mirip yang ada di pura. Sepotong kain kotak-kotak tergantung di dahan. Taburan bunga di kanan dan kiri. Hanya sepotong arca menyembah, mungkin sebagai penanda itu adalah batas hutan larangan. 

Penasaran kami semakin besar. Mendengar suara menyeramkan dari balik semak yang bergerak-gerak. Sesekali gerakkan itu berhenti, lalu bergerak kembali. Lara dengan intuisinya yang lebih tajam mengendap waspada.   

Di hadapan kami tampak kawanan hewan misterius. Tubuhnya berbulu, bertanduk, dan kotor bermata seram. Kami berdua tertegun sejenak.    Lara langsung menarik bilah senapannya  tiga kali. Darah muncrat dari dua sasaran. Senapannya melesat menembus dua kepala.

Malam terpecah oleh tangisan bayi  berasal dari rahim Lara. Perawat dan dokter yang membantu persalinan memanggil saya.

“Tidaaaak!!”

Dokter bilang istri saya pingsan. Saya tak tahu apa yang terjadi, namun dua bayi mungil sudah berada di tangan bidan dan perawat. Saya siap mengumandangkan adzan. Dengan bahagia tak terkira  mendekat, tapi saya terkejut. Dua anak  kembar, wajahnya dipenuhi bulu hitam, hidungnya berlubang menghadap ke depan, dan telinganya lancip. Tak salah, wajah kedua anak saya mirip seekor babi. 

Lara yang sudah tergolek lemas sedari tadi mengigau memanggil-manggil nama saya. Tangannya gemetar. Wajahnya pucat, bibirnya yang merah berubah kering, dia menoleh ke kanan dan kekiri sembari terus memanggil nama saya. Berulang dan berulang dia memanggil saya. 

Tiba-tiba Lara melotot. Bangkit dari tidurnya. Ia terbahak.Aroma wangi melati semerbak di ruang persalinan. Bayang-bayang putih berkelebatan mengelilingi istri saya. Tampak mereka menabur bunga di tempat kedua bayi saya. 

Dialah para penunggu hutan larangan. Saya tak menyangka mereka akan membalas perlakuan kami berburu dengan wujud anak kami yang mirip babi. 

Suara istri saya yang menyerupai setan di film horor semakin membuat kami takut. Matanya memutih tanpa kornea. Suster dan perawat di ruang operasi ketakutan. Mereka berteriak histeris.    

Di antara bayangan putih itu tampak perempuan berambut panjang, bermahkota, namun berhidung lebar ke depan bertelinga lancip. Dia terbang membawa kalungan bunga mawar. Lampu di ruang persalinan yang meredup kini terang seiring kepergian mereka. Tinggalah kami di ruang persalinan menyisakan ketakutan. 

Usai Lara tenang, ia menyusui si kembar. Dari wajahnya tersorot kesedihan. 

“Anak ini kunamakan Ireng dan Putih.”

Dalam mitologi, ireng dan putih pemberi warna keberkahan. Lara menyembunyikan kesedihan. Kedua anak saya merespon dengan senyum pada kami. Mereka peka, bahwa yang ada di hadapannya adalah kedua orang yang kodrat menjadi perantara kelahiran. 

Hari demi hari Ireng dan Putih tumbuh sewajar anak seusianya. Meski wajah mereka mirip sekali dengan hewan buruan, kami berupaya agar Ireng dan Putih diterima anak di kanan dan kirinya. 

“Babi! Babi! Babi!”. 

Mereka yang masih kecil dengan polos berkata demikian, karena memang kedua anak kami mirip babi. Namun lambat laun, sebutan babi jadi hal biasa di kampung. Lara sedih, sakit, dan menangis.

Kodrat dan takdir telah berada di jalan, bahkan sebelum kami menjalani kehidupan ini. Tak ada yang mau memiliki wajah demikian. Apalagi buat si Ireng dan Putih. Suatu waktu mereka di lempari batu ketika bermain. Ireng dan Putih hanya tertawa karena batu itu tak mampu melukai mereka. Dipungutlah batu itu dan dikembalikan pada pelempar. Seketika darah bercucuran. Saya heran mengapa lemparan Ireng dan Putih sekuat itu.  

Orang di kampung sangat muak karena wajah anak kami yang menyeramkan. Warga semakin  semangat melempari Ireng dan Putih dengan batu tajam. Namun saya heran Ireng dan Putih tetap tegar dengan perlakuan itu. 

##

Mungkin karena sudah satu tahun panen warga selalu gagal. Buah dan padi yang ditanam selalu saja rusak. Penduduk di kampung kami sudah berbulan-bulan kesulitan mencari bahan makanan. 

“Anakku tersayang, dengan salat, dan doa di masjid tiap subuh ini, ayah  berdoa agar kau jadi anak soleh ya, Nak.”

“Ibu pun demikian, Nak. Selalu terkalung doa restu untuk kalian.” Usai mengaji di surau kecil, tak lupa mereka bersalaman dengan Pak Ustadz. Guru ngaji di kampung kami sangat sayang dengan Ireng dan Putih. 

Hafalan diserap dengan sangat cepat. Untuk anak seusianya, kelebihan ini sangat membesarkan hati kami. Usai mengaji tangan Pak Ustadz mengelus kepala dan mencium kedua anak kembar kami. Beliau bahkan sangat bangga. 

Lara tersenyum. Semenjak Ireng dan Putih lahir, itulah  senyuman pertama yang terlihat dari wajahnya. Rupanya ada perihal yang membuat hatinya penuh harapan, yaitu kemampuan mengaji si Ireng dan Putih. 

Sore hari si Ireng dan Putih terlambat pulang. Kami kaget, Ketika mereka membawa puluhan kepala binatang. Cahaya sore yang remang agak membuat kami sulit melihat, namun setelah mendekat ternyata itu adalah kepala babi. Tidak hanya satu, namun puluhan. 

Saya dan ustadz penuh tanya. Keesokan harinya, ternyata ladang warga selama ini diserang oleh kawanan babi dari hutan larangan. Alat mencari timah juga tak lupa dari serangan . Mesin penyaring dan selang panjang tak selamat dirusak kawanan hewan larangan itu. Warga ketakutan. Kawanan babi itu menyerang hingga melukai warga.

Ireng dan Putih datang. Kawanan babi itu menurut dan berbalik menuju hutan larangan. Pemandangan aneh, tanpa mengusir kawanan babi itu sangat tunduk dengan perintah anak kami. Ireng dan Putih seperti bisa berbicara dengan kawanan babi itu.

Saya dan Pak ustadz saling pandang. Sebulan dua bulan peristiwa itu terjadi tiap sore. Hingga ladang warga menghasilkan rezeki melimpah aman dari kawanan babi.

Meski demikian,  warga yang melihat tak sedikitpun berempati, meski ladang warga sekarang aman, mesin penyedot timah selamat, Mereka tetap menganggap kedua anak saya anak babi.  Meski panen raya karena terbebas dari serangan kawanan hewan dari hutan larangan, anak saya masih dilempari dengan batu. Tetap saja mereka hidup dengan anggapan sama saja seperti hewan kotor.

“Babi! Babi!  Babi!” Sebutan dari anak-anak yang bermain dengan Ireng dan Putih sekali lagi terlontar, namun berlahan sebutan itu menghilang. Mereka bisa hidup sewajarnya dengan anak lain meski dengan keterbatasan. Oaring-orang sadar, Ireng dan Putih sangat membantu keberadaan pangan dan hasil panen warga. 

Kami duduk di serambi rumah. Teringat apa yang kami lakukan pada masa lalu. Lara hanya sekadar menyesali apa yang dilakukannya saat hamil, mengapa dia harus berburu kepala babi di hutan larangan.  Andai saya melarang. Firasat yang terjawab, mengapa saat hamil Lara selalu mengajak berburu babi. Mengapa saya tak melarang dengan sekuat tenaga? Padahal di sana adalah hutan larangan. Tempat  yang tak boleh diganggu oleh siapapun. 

Hukum alam dan sebab akibat seperti menjadi anomali dalam kehidupan kami. Saat kami bahagia memiliki anak, ternyata justru keturunan yang kami nantikan memaksa kami bersyukur tentang apa yang terjadi. Melihat pada apa yang terjadi, meresapi anugrah karena ada hikmah di balik itu semua. Meski berwajah buruk, Ireng dan Putih adalah pahlawan. Pelindung tanaman warga dari serangan hewan ganas. (***).

Read Entire Article
Rakyat news| | | |