
Oleh : Muliadi Saleh (Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan "Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban")
Di tengah gemuruh notifikasi dan parade diskon digital yang menari-nari di layar ponsel kita, ada sekelompok manusia yang memutuskan berhenti sejenak. Mereka bukan orang miskin, bukan pula kaum anti-modern. Mereka hanyalah manusia biasa yang ingin kembali pada kesadaran: bahwa hidup tak harus selalu dibeli, bahwa bahagia bisa lahir dari cukup, bukan dari lebih.
Tahun 2025 datang dengan tantangan baru, bukan dari inflasi atau kemiskinan global, melainkan dari keinginan yang terus membesar tanpa arah. Di sinilah lahir sebuah gerakan sunyi namun kuat: No Buy Challenge 2025. Sebuah ajakan untuk melambat, menahan diri, dan mendengarkan kembali detak kebutuhan yang tulus, bukan bisikan keinginan yang gaduh.
Gerakan ini viral di media sosial bukan karena selebritas ikut mempromosikan, tetapi karena banyak orang merasa lelah dengan siklus beli-sesal-beli lagi. Kita hidup di era di mana keranjang belanja online menjadi teman tidur, dan paket kurir tiba lebih sering daripada ucapan selamat pagi. Kita butuh jeda. Butuh ruang kosong untuk mengisi ulang makna.
Mereka yang ikut dalam tantangan ini bukan sedang bertapa. Mereka hanya ingin lebih bijak—membedakan antara perlu dan ingin, antara kebutuhan dan pelampiasan. Mereka belajar bahwa tidak semua yang diinginkan harus dimiliki, dan tidak semua yang viral harus dibeli. Mereka memilih untuk tak membeli baju baru jika lemari masih penuh, menunda beli gawai jika yang lama masih setia bekerja, dan berhenti memesan makanan mahal demi aroma dapur rumah yang menghangatkan jiwa.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: