PENDAHULUAN
Nilai tukar atau kurs merupakan salah satu indikator penting bagi suatu negara dengan perekonomian terbuka. Nilai tukar adalah harga satu mata uang terhadap mata uang lainnya (Simorangkir and Suseno 2014).
Misalnya, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS adalah sebesar Rp15.000,00/USD, artinya US$1 dihargai sebesar Rp15.000,00. Nilai tukar yang stabil adalah keadaan yang diharapkan para pelaku ekonomi. Fluktuasi nilai tukar yang terlalu sering dan ekstrem akan menimbulkan risiko yang tinggi pada ekonomi serta menyulitkan para pihak untuk memprediksi ekonomi ke depan.
Dalam menjaga kestabilan nilai tukar ada dua sistem kebijakan yang umum diterapkan negara-negara di dunia, yaitu fixed exchange rate (kurs tetap) dan floating exchange rate (kurs mengambang).
Selain kedua sistem tersebut, Indonesia juga menerapkan sistem managed floating exchange rate (kurs mengambang terkendali) yang merupakan penggabungan antara fixed dan floating exchange rate.
Ketiga sistem nilai tukar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan akan dipilih sesuai dengan keadaan ekonomi saat itu. Jika guncangan di pasar uang lebih besar daripada pasar barang, maka sistem yang lebih baik adalah floating exchange rate.
Sebaliknya, jika guncangan di pasar barang lebih besar dari pasar uang, maka sistem yang lebih tepat adalah fixed exchange rate. Akan tetapi, jika keduanya tidak dominan, maka lebih cocok menerapkan managed floating exchange rate (Goeltom and Zulverdi 2003).
PEMBAHASAN
Simorangkir & Suseno (2014) membagi kebijakan nilai tukar Indonesia menjadi lima periode, yaitu: 1) periode perjuangan kemerdekaan (1945-1959); 2) periode ekonomi terpimpin (1959-1966); 3) periode stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan ekonomi (1966-1983); 4) periode deregulasi ekonomi (1983-1997); dan 5) periode saat dan setelah krisis moneter 1997/98 hingga saat ini.
Apabila kelima periode tersebut dibagi berdasarkan sistem kurs yang diterapkan, maka sistem fixed exchange rate pertama kali diterapkan di Indonesia mulai dari awal kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1978.
Setelah itu managed floating exchange rate ditetapkan mulai akhir tahun 1978 sampai dengan pertengahan tahun 1997. Mulai dari tahun 1997 sampai saat ini, Indonesia menerapkan sistem floating exchange rate dengan variasi sesuai kebutuhan ekonomi saat itu.
Kebijakan Sistem Kurs Tetap (Fixed Exchange Rate) pada 1945-1978
Rezim kurs tetap merupakan system kurs pertama yang diadposi dunia Internasional. Awalnya, semua uang yang beredar dijamin dengan Cadangan emas atau biasa disebut Gold Standard.
Setelah kesepakatan Bretton Woods, kurs negara-negara di dunia tidak lagi dikaitkan dengan cadangan emas secara langsung, tapi melalui mata uang uang Dollar Amerika Serikat (USD) yang sudah dijamin dengan cadangan emas pada saat itu.
Kesepakatan ini yang membuat USD menjadi mata uang dunia dimana cadangan devisa negara-negara di dunia masih didominasi USD sampai saat ini.
Pada awal masa kemerdekaan, negara kita masih dihadapi dengan bervariasinya alat pembayaran di Indonesia. Pada 6 Maret 1945, 1 Rupiah Jepang disamakan dengan 3 sen Netherlands Indie Civil Administration (NICA).
Untuk menggantikan uang Jepang, pemerintah mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang mulai diedarkan pada 30 Oktober 1946. Pada 23 Oktober 1949, 1 Rupiah ORI setara dengan Rp100 di luar Jawa dan Madura, dan kurs penukaran 5:1 khusus di Jawa dan Madura. Beragam uang seperti De Javasche Bank (DJB) dan uang Hindia Belanda juga masih berlaku.
Perang mengganggu stabilitas ekonomi, dengan masalah produksi, distribusi, dan perdagangan, serta kebutuhan pembiayaan perang yang mengakibatkan pencetakan uang berlebih. Pemerintah mengadopsi sistem nilai tukar berganda (multiple exchange rate system) dengan kurs resmi Rp3,80 per USD, yang kemudian dihapus pada 4 Januari 1952.
Kurs resmi tetap Rp3,80 per USD, namun pencetakan uang terus menurunkan nilai tukar dan menyebabkan penurunan ekspor. Untuk mengatasi masalah ini, pada Februari 1952 nilai tukar didevaluasi sebesar 66,7% menjadi Rp11,40 per USD.
Pada 20 Juni 1957, pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang terbatas untuk pemegang izin impor guna meningkatkan ekspor dan mendukung kegiatan ekonomi.
Pada periode ekonomi terpimpin (1959-1966), Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang lebih serius dibandingkan masa perjuangan kemerdekaan. Perekonomian ditandai dengan pertumbuhan yang rendah, inflasi sangat tinggi (635% pada 1966), dan investasi yang menurun drastis.
Kebijakan devisa yang ketat memperburuk situasi dengan menghambat perdagangan dan menciptakan pasar gelap serta spekulasi valuta asing. Nilai tukar rupiah mengalami penurunan signifikan, dan sistem nilai tukar tetap menjadi over-valued.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959, mengurangi nilai pecahan uang dari Rp500 dan Rp1000 menjadi Rp50 dan Rp100.
Selain itu, pada Februari 1965, rupiah didevaluasi sebesar 74,7%, dari Rp11,40 per USD menjadi Rp45 per USD.
Pada 13 Desember 1965, pemerintah juga menerbitkan uang rupiah baru dengan nilai diperkecil, di mana Rp1000 uang lama setara dengan Rp1 uang baru, guna mengurangi dampak kenaikan harga akibat defisit pengeluaran pemerintah.
Merespon inflasi tinggi pada masa akhir kejatuhan Orde Lama tahun 1965, kebijakan ekonomi awal Orde Baru fokus pada stabilisasi dan rehabilitasi yang berhasil menurunkan inflasi menjadi 85,10% pada 1968 dan 9,90% pada 1969.
Untuk meningkatkan ekspor, pada tahun 1967 pemerintah mengganti sistem bukti ekspor dengan sistem bonus ekspor dan nilai tukar mengambang, memungkinkan devisa hasil ekspor diperdagangkan di pasar bebas.
Mulai tahun 1969, pemerintah meluncurkan rencana pembangunan lima tahunan (Repelita) yang mencakup kebijakan nilai tukar sebagai bagian dari kebijakan moneter. Pada Agustus 1971, pemerintah memberlakukan sistem devisa bebas dan mendevaluasi nilai tukar rupiah sebesar 9,8?ri Rp378 per USD menjadi Rp415 per USD untuk memperbaiki neraca pembayaran.
Kebijakan Sistem Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate) pada 1978-1997
Melansir laman International Monetary Fund (IMF), tanda-tanda keruntuhan sistem Bretton Woods mulai muncul pada tahun 1960-an. Nilai USD dianggap over-valued terhadap cadangan emas pada saat itu. Keruntuhan sistem kurs tetap Bretton Woods dimulai pada bulan Agustus 1971, ditandai dengan pengumuman Presiden AS saat itu, Richard Nuxon, untuk menangguhkan “sementara” konvertibilitas USD terhadap emas.
Negara-negara anggota IMF kemudian dibebaskan memilih bentuk pengaturan kurs yang mereka inginkan, termasuk Indonesia.
Inflasi tinggi juga merambat ke Indonesia pada tahun 1970-an, menyebabkan nilai tukar rupiah yang ditetapkan menjadi over-valued sehingga mengganggu ekspor. Akhirnya, pada 15 November 1978, pemerintah mendevaluasi rupiah sebesar 33,6?ri Rp415 per USD menjadi Rp625 per USD dan mengubah sistem nilai tukar menjadi mengambang terkendali (managed floating exchange rate).
Kebijakan ini kemudian disebut dengan Knop 15. Dalam sistem ini, nilai tukar diatur dalam kisaran tertentu dengan intervensi pemerintah jika diperlukan. Kebijakan Knop 15 ini berhasil meningkatkan perolehan devisa dari ekspor.
Pada periode deregulasi ekonomi (1983-1996), Indonesia menghadapi tantangan ekonomi berat, terutama pada awal periode 1982/83, disebabkan oleh penurunan harga minyak dan resesi global.
Pertumbuhan ekonomi melambat tajam, defisit neraca pembayaran meningkat, dan nilai tukar rupiah menjadi over-valued akibat inflasi tinggi. Untuk meningkatkan daya saing ekspor, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah dua kali: pertama pada 30 Maret 1983 sebesar 38,1?ri Rp. 702,50 menjadi Rp 970 per USD, dan kedua pada September 1986 sebesar 45?ri sebesar Rp1.134 per USD menjadi sebesar Rp1.644 per USD.
Reformasi sektor moneter, keuangan, dan perbankan pada 1988 (Pakto 1988) meningkatkan arus modal asing, namun arus modal jangka pendek dapat menimbulkan risiko jika cadangan devisa tidak memadai.
Untuk mengatasi risiko ini, sejak 1992, pemerintah memperlebar pita intervensi nilai tukar untuk menghindari spekulasi valuta asing. Kebijakan pelebaran pita intervensi dilakukan dengan pelebaran pita intervensi nilai tukar rupiah sebesar Rp 6 pada tahun 1992.
Pelebaran band intervensi dilakukan masing-masing sebanyak dua kali pada tahun 1994, 1995, dan 1996 dengan pelebaran band pada bulan September 1996 dari sebesar Rp118 (5%) menjadi Rp192 (8%). Pelebaran tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong perkembangan pasar valuta asing dan mengurangi ketergantungan permintaan valas terhadap Bank Indonesia.
Pada 29 Desember 1995, sistem nilai tukar mengambang terkendali disempurnakan dengan penetapan batas kurs intervensi di samping kurs konversi. Penetapan batas kurs intervensi dimaksudkan sebagai batas bagi bank untuk membeli atau menjual USD dari Bank Indonesia.
Jika kurs rupiah lebih tinggi dari batas atas intervensi, bank dapat membeli USD dari Bank Indonesia. Sebaliknya, dapat menjual USD kepada Bank Indonesia apabila kurs rupiah lebih rendah dari batas bawah intervensi.
Kebijakan Kurs Mengambang (Floating Exchange Rate) pada 1997 hingga Sekarang
Pada pertengahan 1997, krisis nilai tukar yang dimulai di Thailand menyebar ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Untuk mengatasi potensi krisis nilai tukar, Bank Indonesia memperlebar rentang intervensi nilai tukar dari 8% menjadi 12?ngan batas bawah Rp2.374 dan batas atas Rp2.678 pada 11 Juli 1997.
Bank Indonesia juga membatasi transaksi forward jual rupiah antara bank dan non-resident menjadi hanya lima juta USD per nasabah.
Namun, kebijakan ini tidak berhasil menghentikan depresiasi rupiah dan cadangan devisa menurun. Pada tanggal 14 Agustus 1997, pemerintah memutuskan untuk mengambangkan nilai tukar rupiah mengikuti sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
Akibatnya, nilai tukar rupiah melemah drastis hingga sebesar 53,2%, dari Rp3.035 per USD pada akhir Agustus 1997 menjadi sebesar Rp4.650 pada akhir Desember 1997, dan bahkan pada akhir Januari 1998 nilai tukar anjlok menjadi Rp10.375..
Penurunan nilai tukar dipicu oleh arus modal keluar yang tinggi, spekulasi, serta kerusuhan sosial dan ketidakstabilan politik di Indonesia. Pada Mei 1998, saat kerusuhan sosial meningkat, nilai tukar rupiah jatuh ke Rp10.525 per USD dibandingkan dengan kurs bulan sebelumnya yang hanya sebesar Rp7.970 per USD.
Krisis ini menyebabkan inflasi tinggi dan kontraksi ekonomi yang dalam pada 1998. Pada tahun 2003, stabilitas moneter kembali terjaga dan nilai tukar rupiah menunjukkan tren stabil dan menguat seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi dan sosial.
Belajar dari krisis sebelumnya, Indonesia sebenarnya tidak menerapkan sistem mengambang dengan sepenuhnya menyerahkan nilai tukar Rupiah pada mekanisme pasar.
Apabila fluktuasi nilai tukar sudah pada level yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi, maka Bank Indonesia bisa melakukan intervensi dengan menggunakan instrumen moneter yang dimiliki, yaitu suku bunga dan cadangan devisa.
Perbedaannya dengan sistem managed floating yang diterapkan Indonesia sebelum tahun 1997 adalah rentang pita intervensi tidak terlalu kaku dibatasi pada rentang tertentu.
Ketika masa Orde Baru, pita intervensi ditentukan oleh Pemerintah, sehingga Bank Indonesia melakukan intervensi kurs sesuai dengan target kurs yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan kata lain, Bank Indonesia bukan entitas moneter yang mandiri dari otoritas fiskal pada masa itu.
Pada masa sekarang ini sudah ada pemisahan yang jelas antara otoritas fiskal dan moneter sehingga Bank Indonesia lebih independen dalam menerapkan kebijakan moneternya.
Walaupun begitu, masih ada ruang diskusi dan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan (koordinator sekaligus anggota), Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pembentukan KSSK didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Tugas utama KSSK adalah untuk berkoordinasi dalam pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, dan koordinasi penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabil maupun krisis.
Melalui KSSK, ototitas fiskal yang diwakili Menteri Keuangan dan otoritas moneter yang diwakili BI bersama dengan OJK, dan LPS saling bertukar informasi dan berkoordinasi secara berkala untuk memitigasi risiko-risiko sistem keuangan, baik yang bersumber dari Nasional maupun Global. Apabila diperlukan, para anggota KSSK akan menetapkan strategi kebijkan yang tepat untuk merespon risiko-risiko tersebut.
KESIMPULAN
Penetapan sistem nilai tukar Indonesia dipengaruhi oleh shock pada perekenomian yang terjadi saat itu. Pada awal kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1978, Indonesia menerapkan sistem Fixed Exchange Rate beserta variasinya sesuai dengan fluktuasi ekonomi saat itu.
Kemudian pada tahun 1970-an, Indonesia kembali dihantui oleh inflasi tinggi dan kemudian direspon dengan salah satunya menetapkan sistem managed floating exchange rate mulai dari 15 November 1978 yang disebut dengan kebijakan Knop15.
Krisis nilai tukar di Thailand pada pertengahan tahun 1997 merambat sampai ke Indonesia dan terus menggerus cadangan devisa pada saat itu. Karena cadangan devisa sudah tidak mampu lagi mengendalikan nilai tukar, maka mulai tanggal 14 Agustus 1997, Pemerintah menetapkan kebijakan sistem free floating exchange rate.
Kombinasi penerapan kebijakan sistem kurs mengambang dan derasnya arus modal keluar dari Indonesia akibat ketidakpercayaan investor asing menyebabkan Indonesia mengalami krisis multi dimensi hingga kejatuhan rezim Orde Baru pada saat itu.
Belajar dari krisis-krisis yang telah dilalui, sistem kurs mengambang masih diterapkan Indonesia sampai saat ini, namun Bank Indonesia masih bisa melakukan intervensi apabila fluktuasi kurs sudah pada posisi mengganggu kestabilan ekonomi.
Walaupun Bank Indonesia terjamin independensinya dalam menerapkan kebijakan moneter, namun masih ada juga ruang diskusi dan koordinasi melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk menyelaraskan kebijakan fiskal dari Pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi.(***).
REFERENSI
Goeltom, Miranda S., and Doddy Zulverdi. 2003. “Manajemen Nilai Tukar Di Indonesia Dan Permasalahannya.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 1(2): 69–91. doi:10.21098/bemp.v1i2.169.
Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Republik Indonesia. 2023. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan. Indonesia.
Simorangkir, Iskandar, and Suseno. 2014. Sistem Dan Kebijakan Nilai Tukar. Jakarta: PPSK Bank Indonesia.