
Oleh: Andi Sukmono, Ketua Umum Yayasan AYO Indonesia
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Syahdan! 143 juta orang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di media sosial, paling aktif dan disiplin bekerja selama 3 jam 45 menit per hari. Hasil analisis We Are Social dan Meltwater dalam Digital 2025 Global Overview Report.
Sebagian patut diberi standing applause karena menolak status "buruh sukarela" hanya dengan kompensasi like, komen dan share, hingga berhasil menggapai cuan dari puluhan, ratusan, bahkan milyaran rupiah, setiap bulannya.
Memang, banyak kegirangan pada media generasi ke empat ini. Misalnya, prinsip keadilan sosial dalam Pancasila, justru ada dan nyata di sana— kesempatan dan peluang terhampar setara bagi siapa saja, dimana saja dan kapan saja, berdasar aset intangible yang melekat pada setiap individu.
Sayang langgamnya dua sisi mata uang. Kegirangan yang pada sisi lain, dapat berupa kengerian, karena pendekatan palugada atau 'apa yang lu mau gua ada', langgas dihidang kecerdasan buatan (artificial intelligence) melalui algoritma yang sangat kompleks, diantaranya machine learning, deep learning dan reinforcement learning.
The Social Dilemma, film dokumenter yang rilis tahun 2020, membeberkan dengan wawasan mendalam sisi lain yang mengerikan itu, berdasar pengalaman bertahun-tahun para pelaku di balik berbagai platform global.
Urgensi Redefenisi Penyiaran
Tiga generasi media sebelumnya; cetak, elektronik dan online, mengacu pada keresahan Paul Johnson, jurnalis dan sejarahwan Amerika, mengidentifikasi praktek menyimpang media, “tidak lebih” dari tujuh dosa besar: Seven Deadly Sins.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: