
Penulis: Prof. Risma Niswaty (Guru Besar Layanan Publik UNM)
FAJAR.CO.ID.MAKASSAR-Setiap tanggal 23 Juni, kalender dunia menandai Hari Janda Internasional (International Widows Day). Bukan sekadar tanggal merah biasa, melainkan sebuah seruan hening yang menggema dari sudut-sudut bumi, memanggil kesadaran akan seberkas takdir yang kerap terabaikan: kehidupan para perempuan yang ditinggalkan pasangannya.
Ini adalah hari untuk merenungkan jutaan jiwa yang tiba-tiba dihadapkan pada kekosongan, bukan hanya di sisi ranjang, tetapi juga di meja makan, di lembar keuangan, dan di hati yang kini memikul beban ganda.
Peringatan ini, yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, berawal dari inisiatif The Loomba Foundation, sebuah organisasi yang didirikan oleh Lord Raj Loomba di Inggris pada tahun 1997.
Setelah lima tahun kampanye advokasi yang intensif oleh The Loomba Foundation, Majelis Umum PBB secara resmi mengadopsi resolusi A/RES/65/189 pada tanggal 21 Desember 2010, yang menyatakan 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional.
Resolusi ini disetujui dengan suara bulat (aklamasi) atas proposal yang diajukan oleh Presiden Gabon, Ali Bongo Ondimba. Peringatan ini lahir dari keprihatinan global akan diskriminasi, kemiskinan, kekerasan, dan pengucilan yang sering menimpa para janda di berbagai belahan dunia, dari Afrika hingga Asia, dari desa terpencil hingga sudut kota metropolitan.
Duka kehilangan adalah universal, namun penderitaan pasca-kehilangan seringkali tidak adil. Di banyak masyarakat, status "janda" adalah gerbang menuju kerentanan. Hak waris yang dirampas, properti yang direbut, pengusiran dari rumah, hingga tuduhan-tuduhan tak berdasar menjadi bagian dari realitas pahit. Mereka dihadapkan pada perjuangan ekonomi yang sengit, dibebani tanggung jawab tunggal atas anak-anak, dan seringkali pula harus melawan bayang-bayang sosial yang menghakimi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: