Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat: Membatasi, Bukan Membuka Ruang Penundaan Pemilu Lokal

5 hours ago 5
Ruslan Abd. Gani (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unhas, Wakil Ketua bidang Hukum PW Pemuda Muhammadiyah Sulsel)

Oleh: Ruslan Abd. Gani (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unhas, Wakil Ketua bidang Hukum PW Pemuda Muhammadiyah Sulsel)

MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) sebagai pelindung konstitusi (guardian of the constitution) menjalankan fungsi strategis untuk memastikan bahwa setiap produk undang-undang, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Hal ini kembali terlihat saat MK membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada bulan Juni 2025, sebuah putusan yang menjadi perhatian publik karena menyentuh desain pemilu nasional dan pemilu lokal yang selama ini dilaksanakan secara serentak atau dikenal dengan istilah pemilu “lima kotak”.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 201 ayat (8) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah konstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah (lokal) diselenggarakan secara serentak.

Artinya, pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (kepala daerah, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) harus diselenggarakan terpisah.

Namun demikian, putusan ini menimbulkan ragam tafsir. Tidak sedikit yang keliru menafsirkan seolah-olah MK telah menetapkan jarak waktu 2 (dua) tahun sampai 2,5 (dua setengah) tahun antara pemilu nasional dan lokal sebagai norma wajib yang harus diikuti, atau bahkan bahwa MK memberikan dasar hukum untuk menunda pemilu legislatif daerah.

Padahal jika kita telaah secara hati-hati, MK sama sekali tidak menetapkan demikian dalam amar putusannya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Rakyat news| | | |