
FAJAR.CO.ID, KOTA BOGOR -- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengharuskan pemilu nasional dan daerah dipisah, terus menuai perbincangan di tengah elite politik dan pemerintah.
Bahkan, pemerintah maupun elite politik terkesan sangat berhati-hati dalam mengambil sikap dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut. Yang pasti, sejumlah kalangan menilai putusan MK tersebut melanggar konstitusi.
Merespons perkembangan yang terjadi usai putusan MK tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto menyebut Indonesia memerlukan sistem pemilu berkelanjutan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Bima mengatakan konsep berpikirnya semestinya dengan tidak terus menerus mengubah-ubah sistem pemilihan umum.
"Kami melihatnya bahwa kita itu perlu sistem pemilu yang melembaga dan berkelanjutan. Bisa dibayangkan kalau bergonta-ganti setiap pemilu maka kita tidak akan memiliki sistem yang ajeg," kata Bima di Badung, Bali, Sabtu (5/7/2025).
Putusan MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan pemilihan umum anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta gubernur dan wakil gubernur.
Dengan sistem baru yang akan diberlakukan 2029 nanti, maka pemilu serentak yang memiliki lima surat suara seperti pada pemilu 2024, tidak lagi berlaku.
Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: